Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pesan Keberlanjutan

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah Yaumul Bidh ke-2, 14 Muharam 1443

Pesan Keberlanjutan
Saudaraku, di samping membawa pesan pengarusutamaan gender yang amat kuat, sejatinya hijrah juga mengajarkan prinsip keberlanjutan. Jangan dipikir bahwa hijrah sudah selesai. Inilah kira-kira yang melatari muhasabah hari ini sehingga dikemas di bawah judul pesan keberlanjutan. Bagaimana memahami keberlanjutan hijrah? 

Dengan merujuk pada sebuah riwayat dari Abdullah bin Amru, Nabi Muhammad saw bersabda seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan seorang muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah. (Hr. al-Bukhari dan Muslim), maka kita memperoleh pelajaran tentang hijrah substantif. Dimana hijrah sejatinya adalah meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah menuju keridhaanNya.

Dalam iman Islam, kita meyakini bahwa untuk meraih kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat, di samping harus mengerjakan perintah Allah,  juga menjauhi laranganNya. Larangan yang tegas disebut haram dan larangan yang tidak tegas disebut makruh. Baik terhadap hal yang haram maupun yang makruh mestinya dihindari, karena dua-duanya tidak disenangi ketika dilakukan. Inilah hakikat hijrah; meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.

Dalam historisitasnya, di saat penduduk Makkah secara sistemik menolak atau bahkan berusaha "memberangus" Islam dan kaum muslimin, maka di belahan lain betapa Islam.dan kaum muslimin ditunggunantikan dan dielu-elukan sepanjang jalan. Maka benar, bumi Allah itu luas yang memungkinkan kita busa lebih eksis dalam berislam dan dalam mewujudkancita cita cinta Islam yang rahmatan lil'alamin.

Di samping itu dalam ranah muhasabah internal, seandainya sekarang masih berkubang dalam perilaku maksiat, karena maksiat hanya akan merugikan diri sendiri dan orang lain,  maka dituntut berhijrah dengan cara segera bangkit untuk meninggalkan kemaksiatan, seraya menggantikannya dengan perilaku yang baik.
Bila sekarang menyadari betapa jauhnya dengan keridhaan Allah, maka dituntut berhijrah dengan cara segera meninggalkan kondisi keterasingan dari Rabbuna.  Muhasabahnya; mengapa kita menjadi jauh dari kasih sayangNya? Mengapa kita menhadi jauh dari kemurahan rezekiNya? Semua ini bisa jadi karena kita sendiri yang telah meninggalkan Allah. Ketika Allah menyertai orang-orang yang bangun di dini hari untuk bersimpuh bermunajat melalui serangkaian shalat, kita pun tidak ada di sana. Oleh karena itu tuntunannya kita diharapkan segera hijrah dari teralenasi atau keterasingan spritual.

Saat melakukan hijrah yakni meninggalkan  larangan Allah, pasti terdapat hikmah dan demi kemaslahatan bagi diri dan sesamanya. Hikmah dan kemaslahatan ini terpatri pada tujuan pensyariatan yang termanifestasikan dalam setiap larangan ketika dijauhi, sebagaimana halnya terpatri pada setiap perintah ketika dipatuhi. Jadi kita meyakini sepenuh hati bahwa larangan Allah ketika dipatuhi dengan menjauhinya, maka akan menyelamatkan kehidupan, membawa rasa bahagia membahagiakan, sejahtera mesejahterakan, damai mendamaikan dan seterusnya.

Sebagai contoh larangan bersikap keras hati (Qs. Ali Imran 159), atau berlaku sombong dan arogan (Qs Al-A’raf 13), atau mengejek orang lain (Qs. Al-Hujurat 11), atau mengeluarkan kata yang tidak sopan terhadap orang tua (Qs. Al-Isra’ 23), bertujuan untuk memelihara keharmonisan hubungan antar sesama manusia.

Adapun larangan melakukan kerusakan di muka bumi (QS Al-Baqarah 60) agar kelestariannya dapat terjaga dan dinikmati seluas-luasnya bagi manusia antar generasi. Begitu juga larangan memasuki kamar pribadi orang tua tanpa ijin (Qs Al-Nur 58), mengikuti orang secara membabi buta (QS Al-Baqarah 170), memakan hasil dari riba’/membungakan uang (QS  Al-Baqarah  275), melakukan penyuapan (QS Al-Baqarah  188), mengingkari atau melanggar janji (Qs. Al-Baqarah 177), memakan harta para anak yatim (QS Al-Nisa’  10),  memata-matai atau memfitnah orang (QS Al-Baqarah 283).

Sementara itu untuk memelihara kualitas diri dan keturunan, manusia dilarang melakukan hubungan badan saat haid (Qs Al-Baqarah 222), melakukan hubungan badan di luar nikah (QS Al-Isra 32) menikahi mereka yang sedarah denganmu (QS Al-Niaa’ 23), membunuh anak-anakmu karena takut akan kemiskinan (QS Al Isra’ 31, melakukan homoseksual (QS Al-'Ankabut 29) dan seterusnya dan seterusnya. Maha benar Allah dengan segala firmanNya. 

Dengan demikian, mininggalkan seluruh yang dibenci oleh Allah adalah merupakan tuntunan peradaban. Oleh karenanya berlangsung tanpa henti sehingga ia harus berkelanjutan. Allahu a'lam