Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pesan Membaca

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 10 Muharam 1443

Pesan Membaca
Saudaraku, muhasabah hari ini masih mengambil ibrah dari hijrahnya Nabi dan para sahabat mulia dari Makkah ke Madinah, yakni menangkap pesan membaca. Bagaimana memahami hubungan antara hijrah dan membaca? 

Ya, kita harus kembali pada makna membaca yang sesungguhnya. Dalam Islam, membaca tidak sembarang membaca, tetapi aktivitas yang sangat kompleks sejak menerima, mengalami, menelaah, mengintepretasi bahkan sampai mengambil sikap bijak karenanya. Jadi orang-orang yang cerdas membaca, akan melahirkan sikap mulia dan dari sini peradaban dimulai. Oleh karenanya dalam lima ayat pertama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw (Bacalah, dengan (menyebut) nama Rabbmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmu lah Yang Mahamulia, yang mengajar manusia dengan pena, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (Qs. Al-Alaq 1-5) merupakan deklarasi peradaban, karena ternyata "membaca" merupakan identitas manusia yang beradab. 

Lalu, apa yang dibaca oleh Nabi saat itu?  Karena tidak disebutkan secara tersurat tentang obyek atau apa yang harus dibaca,  maka para ulama berpendapat bahwa, yang dibaca adalah ayat atau tanda; yakni ayat-ayat qauliyah yang difirmankan oleh Allah maupun ayat-ayat kauniyah yang dibentangkanNya di alam ini, termasuk diri manusia. Katagori ayat pertama kemudian lahir ilmu naqliyah (al-'ulum al-diniyah) dan kategori yang kedua lahir ilmu aqliyah (al-'ulum al-aqliyah). Membaca segala tanda yang tersurat dalam kitab dan buku-buku maupun yang tersirat dalam bentangan semesta. 

Nah hijrah merupakan bukti konkret bahwa Nabi telah membaca, baik terhadap ayat qauliyah (tuntutan hijrah dalam nash al-Qur'an) maupun ayat kauniyah yakni tanda yang dibentangkan dan hal ikhwal yang ada di alam semesta. Di antaranya yang sangat jelas adalah penolakan orang-orang kafir quraisy pada Islam. Seterusnya, bahkan orang-orang kafir quraisy bukan hanya menolak, tapi juga berusaha "menghabisi" Islam, membantai umat Islam yang saat itu baru mulai berbilang, dan memburu hidup atau mati diri Nabi Muhammad saw.

Dengan demikian membaca yang ditunjukkan oleh Nabi dan para sahabat mulia di atas merupakan bukti keislaman mereka yang kuat.  Praktik membaca ini berlangsung hingga akhir hayat. Dalam hal hijrah ke Yatsrib (Madinah), Nabi Muhammad saw telah membaca sejak mula. Sikap kehati-hatian, menugasi Ali bin Abu Thalib tidur di tempat yang biasa beliau tidur, pembagian kerja yang rapi siapa mengerjakan apa, tawakal kepada Allah, menganbil rute yang tidak lazim, bersembunyi di Gura Tsur adalah sikap bijak atas pembacaan kreatif atas situasi dan kondisi saat itu.

Lalu, setibanya di Yatsrib (Madinah) pada fase-fase awal, ajaran membaca situasi dan kondisi telah mengilhami Nabi Muhammad saw kemudian meketakkan dasar-dasar sebagai pondasi keumatan yang kukuh yakni membangun masjid, membangun ukhuwah, dan membangun pasar.

Memperhatikan umat Islam dan anak-anak mereka kala itu masih banyak yang buta huruf (buta huruf nominal sehingga tidak bisa membaca), maka nantinya Nabi memutuskan agar tawanan perang tidak dibunuh atau meminta ganti rugi pada musuh, tetapi meminta mereka mengajarkan tulis baca pada anak anak atau orang-orang Islam untuk kebebasannya. Dan seterusnya sepanjang hayatNya, Nabi telah membuktikan sebagai prototipe ideal dalam membaca.

Nah, apa ibrahnya? Tentu sangat banyak. Karena membaca tanda tak akan ada habisnya. Makanya kita dituntun untuk menjadi pebelajar yang gemar membaca sepanjang hayat juga. Kini, dan dalam kondisi seperti sekarang ini, bagaimana kita mesti bersikap? Jawabannya ya, bagaimana kita membaca. Allahu a'lam