Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pesan Semesta

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah Yaumul Bidh ke-3, 15 Muharam 1443

Pesan Semesta
Saudaraku, di samping pesan pengarusutamaan gender yang amat kuat dan pesan keberlanjutan, sejatinya hijrah juga membawa pesan semesta. Jangan dipikir bahwa hijrah terjadi di suasana hampa tanpa ada kondisi semesta yang melatarinya. Inilah kira-kira yang melatari muhasabah hari ini sehingga dikemas di bawah judul pesan semesta. 

Dalam sejarahnya, hijrah itu ditunaikan di saat alam pikiran penduduk Makkah secara sistemik menolak atau bahkan berusaha "memberangus" Islam dan kaum muslimin. Dengan kata lain, alam semesta Makkah saat itu sedang tidak bersahabat terhadap Islam, karena "perselingkuhannya" dengan kekafiran dan kemusyrikan yang sudah berlangsung turun temurun. Oleh karena itu Allah mempersiapkan Madinah, alam semesta di belahan lain yang memungkinkan Islam dan umat Islam bisa lebih eksis dalam mewujudkan cita cinta yang rahmatan lil'alamin. Dengan demikian, hijrah sejatinya merupakan tuntutan semesta.

Adalah seorang Nabi sekalipun, yang lahir dan dibesarkan di Makkah, sejatinya Nabi Muhammad saw sangat sedih ketika akan meninggalkannya dan menuju Madinah. Akan tetapi oleh Allah Nabipun dihibur dengan diturunkannya sebuah ayat yang memberi kaabar gembira bahwa suatu saat pasti bisa kembali. Allah berfirman yang artinya Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur'an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: "Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata". (Qs. Al-Qashash 85)

Begitulah semesta ketika menyapa atas izin Rabbnya. Makanya ketentuan Allah ini pasti ada hikmahnya. Secara umum, semesta dipahami sebagai keseluruhan yang ada, baik fisik maupun phikhis, baik lahiriyah maupun bathiniah, baik alamiyah maupun segala ada atau terjadi di alam ini. Oleh karenanya kemauan dan kemampuan membaca tanda yang terbentang di alam semesta menjadi di antara jalan bagi keberlangsungan hidup manusia secara layak dan bermartabat.

Secara kontekstual, kini kita dan dunia masih dihadapkan dengan pandemi covid 19 yang belum diketahui sampai kapan berhenti. Kondisi ini seharusnya sudah lebih dari cukup untuk bersama-sama melakukan hijrah menuju new normal yang sesungguhnya. Budaya abai kebersihan harus segera ditinggalkan dan menggantikannya dengan peduli. 

Dari sisi phikhologis, dunia batin dan pikiran dalam diri manusia, bisa jadi sudah buram tidak lagi kondusif menjadi agen kemaslahatan bagi kehidupan semesta. Segala daya akal hanya memikirkan bagaimana menumpuk-numpuk harta, tahta dan kemewahan dunia. Akal sudah keblinger dan hanya memikirkan hal-hal sepele yang dapat memuaskan ego duniawiyahnya. Gaya hidupnya pun pongah karena atribut yang disandangnya. Dan seterusnya. Semua ini tentu lebih dari cukup untuk segera hijrah dengan meninggalkannya agar memperoleh curahan kasih sayang dari Allah, Rabb semesta alam. 

Allah berfirman yang artinya, Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Baqarah 218)

Aamiin