Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masa Depan

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah di Hari Putih ke-1, 13 Shafar 1443

Masa Depan
Saudaraku, selain terdapat masa lalu yang sudah tak terjangkau lagi, masa kini yang musti dimaknai dengan perolehan "prestasi", juga terdapat masa depan yang harus dipersiapkan dengan cerdas. 

Allah berfirman yang artinya wahai yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (baca juga akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (Qs. Al-Hasyr 18-19)

Islam menuntun kita untuk mentafakuri dan mentadaburi hal ikhwal masa lalu, agar lebih bijak bersikap di masa kini guna mempersiapkan diri menyongsong masa depan yang membaagusvu. Paada normativitas yang maknanya tertera di atas, di antara berisi tuntutan dan tuntunan kepada kita dan setiap orang yang mengaku beriman agar kini dapat mempersiapkan diri dengan merencanakan dan melakukan apa saja secara ikhlas, cerdas dan maslahah untuk kehidupan di masa depan; yaitu hari-hari ini yang akan dilalui di dunia ini dan hari-hari dilalui setelah di ala.

Bila masa lalu itu satu dan masa kini juga satu, maka masa depan bermakna dua yakni 
hari-hari ini yang akan dilalui di dunia ini dan hari-hari dilalui di akhirat. 

Kita juga diwanti-wanti agar dalam menjalani hidup di dunia ini tidak lupa diri atau pura-pura tidak tahu bahwa segala perbuatan masa lalu dan hari ini. Padahal semua ini akan dimintai pertanggungjawabannya esok hari. Sikap lupa diri bisa tercermin dalam perilakunya yang fasiq, yakni menabrak-nabrak aturan agama dan abai terhadap aturan susila. Karena lupa diri, maka Allah pun melupakannya. 

Oleh karenanya sedari kecil, kita dididik oleh kedua orangtua dan para guru mulia kita, untuk tidak bermalas-malasan atau loyo, tidak bersemangat, atau suka berhura-hura, menghabiskan waktu terbaiknya di warung-warung atau cafe-cafe memenuhi perutnya dengan aneka makanan minuman dan musik hedonistik menuruti kesenangannya yang sesaat..

Sejurus dengan menahan diri dari keterlenaan menikmati kesenangan sementara itu, kita juga dibiasakan (baca dipaksa) untuk disiplin, belajar yang rajin, shalat dan mengaji setiap hari, bermunajat di sepertiga akhir malam yang sunyi, puasa sunat, membantu orangtua dalam memenuhi kebutuhan hidup hari-hari, menyayangi sesamanya dan menghormati orang yang lebih tua dan takdhim kepada ayah ibunda juga semua guru.

Untuk apa semua ini dilakukan? Ya untuk meningkatkan kualitas hidup, sehingga meraih kebahagiaan, kini dan masa datang yang sudah menanti. Inilah sikap produkti menjadi sangat penting. Kita menanam biji kebajikan agar menuai kebahagiaan; kita menabur bibit unggul agar makmur; kita menyemai tanaman obat-obatan agar sehat dan selamat dunia akhirat.

Jadi sikap seorang muslim yang baik, bukan berarti lupa masa lalu, baik pengalaman diri sendiri maupun pengalaman orang-orang sebelum kita. Dalam hal ini kita diingatkan oleh Allah melalui firmanNya yang artinya, Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunah-sunah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Qs. Ali Imran 137). Katakanlah: “Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu”.(Qs. Al-An’am 11)

Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya? (Qs. Yusuf 109) Katakanlah: “Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa.(Qs.Al-Naml 69)
Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri (Qs. Al-Rum 9) Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)” (Qs. Al-Rum 42)

Sekali lagi pengalaman merupakan guru yang amat bijak, sehingga masing-masing kita, saya tuan puan kini dapat mengambil ibrah dari padanya guna dapat mempersiapkan diri menyongsong masa depan sehingga lebih maju, berkeadaban, dan hidup bermartabat di bawah ridha Allah ta’ala. Aamiin ya Rabb.