Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pesan Dialog Imaginer

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 28 Muharam 1443

Pesan Dialog Imaginer
Saudaraku, saya - atau kita semua - sebagai makhlukNya Allah sejatinya sangat-sangat majbur atas apapun tentang langkah, rezeki, pertemuan, dan maut. Untuk keempat hal ini, tidak usahlah berdebat beradu logika, karena ujung-ujungnya kita harus "pasrah" pada ketentuan Allah yang maha sempurna menentukan atas makhluk-makhlukNya. Mengapa tidak boleh berdebat beradu logika pada keempat hal tadi? Ya itu, keempatnya bukan masalah logika, bukan ranahnya akal, tetapi ranahnya hati. Karena di hati ada iman yang terpatri. Nah di sini saya mmasih akan menyambung pesan edukaif dari rasa sakit yang kualami akhir-akhir ini, yakni terbayang kematian. Berarti ranah terakhir dari keempat hal yang kita benar-benar majbur.

Nah persoalan tentang maut atau kematian sejatinya sangat-sangat dekat dengan persoalan hidup kita, bahkan hampir tak berjarak, sehingga hidup-mati itu harusnya jamak. Nah di sinilah kita mesti bijak memaknai bahwa saya - dan tentu kita semua -  harus selalu siap berangkat ketika saatnya tiba. Dan tanda-tanda berangkat sejatinya bisa nyata seperti sedang sakit atau tidak nyata seperti berangkat alam baka tiba-tiba, tak ada tanda yang bisa dirasa oleh keluarga tercinta.

Nah berikut dialog imaginer saat saya/kita mau berangkat ke alam baka. Dialog ini bisa jadi sering muncul, apalagi sedang sakit. Saya memohon "ya Allah jangan sekarang berangkat ke sana (alam baka) ya Rabb, anak-anakku masih kecil-kecil, sementara saya menjadi tumpuhan keluarga termasuk keluarga besar kami, maklumlah saya generasi pertama dari trah keluarga yang kini menjadi bertatus "terhormat karena pekerjaan saya dan posisi saya". Pintaku.

Suara kebenaran itu langsung menimpali; tidak apa-apa, berangkat saja terus, tidak ada waktu lagi di sini. Mereka istri/suami dan anak-anakmu akan hidup dan tumbuh kembang sebagaimana lazmnya; mereka tak kurang suatu apa dengan kepergianmu; paling menangis sedih sehari, dua hari, tapi lama-lama mereka juga terbiasa dengan ketidakhadiranmu di tengah-temgah mereka lagi. Merekapun akan mulai sibuk dengan kehidupannya sendiri, menyesuaikan dengan dunia yang lakoninya, juga sibuk dengan amal shalihnya karena pendidikan darimu. Pada saatnya merekapun akan berkeluarga, memiliki anak (sebagai cucumu nanti), bekerja dan menjalani kehidupan lazimnya.

Saya menohon lagi, ya Allah, tapi amal ibadahku rasanya belum cukup untuk membebaskan diriku dari nerakaMu. Shalatku masih sangat mekanik tak ada ruhnya; makanya dalam shalat justru ingat semuanya tetapi sedikit mengingatMu ya Allah. Puasaku hanya pas Ramadhan saja, itupun sering kuhabiskan untuk istirahat atau tidur agar tak terasa pedihnya lapar haus sampai sudah dekat ifthar. Memang juga ada puasa sunat tapi banyak riyanya, malah merasa sombong bisa puasa sendiri, jarang-jarang orang melakukannya. Sedekahku, apalagi, seringkali hanya dengan uang recehan atau uang untuk jasa parkir saja; itupun saya dari yang paling lusuh di dompet atau sakuku. Saya jarang sekali berbagi dengan uang yang gambar orangnya tersenyum sumringah, tapi hanya dengan uang yang bergambar orang yang cemberut pegang pedang diacungkan di depan dada.

Suara kebenaran itu meninpali, ya ya kemarin-kemarin selama ini kamu ngapain saja, ke mana saja? Sibuk dengan apa? Mengapa tidak ada prioritas dalam menjalani hidup yang sangat singkat di dunia ini ketimbang akhirat yang kekal abadi? Tetapi sekarang tidak ada waktu lagi bagimu. Hayo bersiap berangkat, itu "kereta mayat" atau tandu keranda jenazah sudah menunggumu!

Saya masih menghiba; ya Allah ya Rabb, sambil nyembah-nyembah dengan tangan memohon menengadah ke langit; jangan sekarang berangkat ke sana ya Rabb! Berilah tangguh barang sebentar agar kami bersiap diri.  Karena sekarang hambaMu belum siap lahir batin. Saya akan lebih taat kepadaMu ya ya Rabb. Saya akan banyak menangisi bertaubat nasuha akan dosa dan kelalainku selama ini!

Suara kebenaran itu berseru; ya sudah, sekarang bangun dan bersihkan badanmu, bersihkan akalmu, sucikan hatimu! kamu diberi tangguh sampai pada saatnya yang bisa jadi tiba datang.

Lalu dengan izin dan karunia Allah sayapun sehat wal afiat kembali. Alhamdulillah melalui sakit yang kurasa ternyata Allah masih mengaruniai kesembuhan agar dapat nembesarkan mendidik ansk-anakku yang masih kecil-kecil, dan lebih banyak berbekal untuk akhirat.

Semoga saya dan tentu juga kita yang masih dikaruniai kesempatan menghirup udara dengan lega dini hari ini dan seterusnya, dapat memaksimalkan ta'abud kita kepada Allah jua. Dan ketika saatnya berangkat menuju ke haribaanNya, semoga benar-benar inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Dulu kita berasal dari Allah dan pulang kembalinya juga ke - surgaNya - Allah. Hari ini, mari shalat, mari menuju kenenangan, mari bermunajat kepadaNya di keheningan dini hari ini. Aamiin