Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pesan Edukatif

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 27 Muharam 1443

Pesan Eduktatif
Saudaraku, muhasabah hari ini akan berusaha mengambil ibrah pendidikan atas rasa sakit yang kualami dua pekan akhir-akhir ini. Inilah sekaligus yang melatari sehingga tema muhasabah hari ini diracik di bawah judul pesan edukatif. Meski sejatinya, bagi kita orang-orang yang beriman harus dapat memetik ibrah atau pelajaran atas apapun yang ada dan apapun yang terjadi, atau apapun yang menimpa pada diri sendiri, kelurga dan sesamanya. Tapi kali ini, pengalaman subyektif berupa rasa sakit yang sangat memayahkan yang kualami baru-baru ini saja, karena faktual.

Secara lahiriyah dan bathiniyah, alhamdulillah sebelumnya saya merasa sangat fit, sehat wal afiat bisa menunaikan kewajiban, baik selaku hambaNya, selaku kepala/anggota keluarga, selaku abdi negara dan sebagai bagian dari anggota masyarakat di mana saya tingggal. Ini semua tentu harus disyukuri.

Dua bulan sebelumnya sampai datang rasa sakit itu, saya sudah mengistikamahi olah raga bakda subuhan dan tilawah bersama keluarga. Sebelumnya ada tapi soradis dan kali ini sudah mulai istikamah berolah raga senam dengan mengikuti panduan senam dati youtube yang sengaja diputar. Dan lagi-lagi alhamdulillah, bila sebelumnya ada darah tinggi dan mudah capek, maka melalui senam yang rutin, menjadikan plong dan saya merasa benar-benar fit dan tentu mensyukurinya.

Tetapi pas hari ahad saat yaumul bidh ke-1 bulan muharam ini, mulai ada perasaan yang berbeda, di samping sepertinya kelelahan mengikuti atau mengerjakan seluruh kewajiban kampus yang super padat dan kegiatan sosial masyarakat di tempat tinggal. Dan benar adanya malam itu mulai batuk-batuk dan demam. Awalnya saya pikir ya batuk biasa, atau setidaknya "langganan" yang sesekali datang. Tapi rupanya kali ini berbeda, maka dengan obat-obat yang biasa rasi atau mujarab, tapi kali ini tidak. Ditambah lagi tidak bisa tidur barang sedikitpun.

Coba bayangkan, hari-hari dilalui dengan batuk terus menerus dan perut mengeras, sakitnya sampai ke ubun-ubun, demam tinggi, dan terus menerus bahkan semakin klimaks hingga menurun pada hari ke-14 kemarin dulu.

Lalu apa pesan edukatifnya? Ya banyak sekali. Tapi di sini yang diingat saja. Nah, coba kita lihat satu persatu. Pertama, kita tidak boleh sombong sedikitpun atas apa dan capaian apapun yang kita peroleh. Kalaupun bisa berolah raga senam dan merasa sehat wal afiat, itu semata-mata atas karunia Allah saja. Sekali lagi kita tidak boleh sombong sekecil apapun juga, misalnya merasa sehat karena olah raga, merasa hebat karena ini itu. Padahal semua itu karena Allah semata.

Kedua, harus bisa mengelola diri dengan baik. Atur semua aktivitas bermakna yang seharusnya kita lakukan dengan tidak memaksakan diri atas sesuatu. Karena sedikit saja kita lengah, maka saat itu virus langsung ambil kesempatan. Inilah cerdasnya virus, merecoki kita saat dalam kondisi rentan. Di sela-sela saat yang sedikit. Dan sekali lagi, kita tidak tahu, kapan kondisi badan kita rentan itu, karena ya berlangsung seperti biasanya saja. Tapi ya begitulah cerdasnya virus pandai mencari kesempatan dalam saat yang sempit sekalipun. Pesan edukatifnya:adalah: Awas, jangan lengah sedikpun, bila tidak ingin virus bekerja efektif. 

Ketiga, rasa sakit itu mengingatkan saya akan kematian, meskipun kematian tidak harus dikarenakan sakit. Tetapi bila sakit mendera, apalagi bagi kita-kita yang sudah hidup setengah abad lebih di dunia ini, maka bayangan yang sangat dekat di antaranya:...jangan-jangan ini sudah dekat dengan sakaratul maut, jangan-jangan ini tanda yang Allah berikan agar kita bersiap-siap berangkat. 

Maka tugas dan kewajiban atau sesamamya harus segera diselesaikan, jaƱgan sampai ada yang "terhutang" sedikitpun dan apapun jua. Syukur-syukur bisa bersedekah, berbagi kepada sesama dan menansfer dana sosial ke rekening yang makruf. Ingat besuk atau lusa, mungkin kita tak bisa lagi melakukan apapun atas harta dan rekening kita. Makanya jangan lupa kasih tahu perihal password atm, buku tabungan pada keluarga tercinta agar tidak menyusahkan keluarga sepenggal kita (yang harus sidang ke mahkamalah lah, datangkan saksi, seluruh ahli famili dan.. repot sekali untuk ambil uang tabungan si mayit padahal keluarga sendiri).

Coba bayangkan, saat sakit atau pas batuk menggigil tiba-tiba hilang sama sekali, eh kita sudah lelap sekali, kita sudah tenang sekali, tidak ada sakit, tidak ada batuk dan tenaaaang sekali. Tapi setelah disadari ternyata kita sudah tidak teehubung lagi dengan istri/suami dan anak-anak. Mereka baru saja kita tingggalkan, kitapun berjalan entah kemana, bertemu dengan keluarga dan atau orang-orang yang kita kenali tetapi nereka sudah dipanggil oleh Allah sebelum-sebelumnya. Kita menyapa atau disapa oleh kakek nenek kita, bapak atau orangtua kita, guru-guru kita, kita ketemu dengan saudara-saudara yang sudah duluan di alam barzah, kita juga disambut oleh anak kita yang dulunya kita lepaskan dengan tangisan sedih saat ia pergi menghadap Ilahi. Keadaannya, begitu damai, berawan indah, putih dan putih sekali, kita bisa terbang ke sana kemari dengan leluasa, tak ada hiruk pikuk duniawiyah lagi.

Di alam dunia yang baru saja berlalu, ternyata keluarga dan anak-anak kita sedang menangisi jenazah kita yang sekarang terbujur kaku di antara kaki-kaki simpuhan mereka atau pelukan mereka, kita tak mampu lagi sekedar mendiamkan atau menghibur mereka lagi. Seandainya kita bilang istri/suamiku, anak-anaku sudah ya jangan nangis lagi, ne bapak/saya sudah tidak sakit lagi, sudah tidak merepotkan kalian lagi; sekarang diam ya jangan nangis terus. Semuanya tak bisa mereka dengar lagi. Sementara handai tolan juga saudara sekapung sudah memadati rumah kita, mereka sangat profesional dan menunaikan "rutinitas sosial fadhu kifayah", ada yang mengggali liang kubur,  ada yang mengangkat kerangka dari meunasah ditaruh di depan pintu rumah kita, ada mempersiapkan kain kafan, aneka bunga dan wewangian, ada yang memandikan kita terakhir sekali diakhiri mewudhukkan kita, lalu kitapun dikafani sangat rapi dengan kain putih persis seperti dibedong saat lahir dulu, ditaburi wewangian khas dan bunga-bunga, lalu dishalatkan, kitapun diantar ke liang lahat tempat peristirahatan terakhir di mana jasad kita dikebumikan dan akan "hilang" jadi tanah di situ. Bisa jadi ada yang berdoa terus kepada Allah untuk kita, bila kita shalih dan atau meninggalkan istri/suami atau anak-anak shalih. 

Intinya, di sini cerita tentang diri kita sudah selesai. Mungkin ada yang sering disebut ada yang sesekali disebut sangat bergantung pada pangalaman diri ini saat hidup di dunia sebelumnya. Tapi diri ini, kan bukan siapa-siapa. Paling yang masih menyebut dan mengingat kita ya hanya keluarga, istri/suami dan anak-anak. Tapi berapa lama, sepekan atau sebulan atau setengah tahun? Karena mereka harus melanjutkan roda kehidupannya di dunia ini, kitapun dalam kesendirian di alam barzah. Nanti baru usai shalat idul fitri, baru menziarahi kubur kita lagi. Anak dan cucu kita yang sudah ramai, mereka sibuk menyiangi rumput di seputar kuburan kita, lalu berdoa dan menabur  bunga-bunga segar mewangi di atasnya. Lalu, bagaimana dengan nasib diri kita? Ya ini sangat bergantung bagaimana kita hidup di dunia di alam sebelumnya.

Nah, saya tersentak, rupanya sudah dini hari. Eh alhamdulillah masih dianugrahi umur untuk di dunia ini, kita harus segera shalat bersimpuh di haribaanNya. 

Tetapi rasa sakit telah memberikan pengalaman spiritual yang menakjubkan untuk direnungkan.