Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lahirnya Agama

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 2 Rabiul Awwal 1443

Lahirnya "Agama"
Saudaraku, kata agama dalam.judul muhasabah hari ini sengaja dibuat berada di antara dua tanda petik, karena mukti tafsir. Setidaknya, agama bisa dipahami sebagai keyakinan adanya tuhan yang maha mengatur segalanya tetapi juga bermakna kesadaran yang membawa pada ketundukan pada sang pencipta.

Dalam makna pertama, agama (dalam hal ini Islam) sejatinya telah lahir bersama saat (ruh) manusia dicipta di alam dzuriyat Masa arwah di dalam  al-Qur"an disebut sebagai alam dzuriyat, dimana arwah itu berada. Dalam hal ini Allah berfirman yang atinya (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", ( ,Qs. Al-A'raf 172). Inilah benih-benih Islam (baca keyakinan akan adanya Allah yang esa) dipersaksikan secara primordial. Nah, berapa lama, masing-masing ruh kita berada di alam arwah atau di alam dzuriyat? Hanya Allah yang Maha Tahu

Setelah lahir ke dunia ini, setiap diri memiliki latar sosial budaya dan  pengalaman hidup yang berbeda-beda, sehingga juga mewujud dalam praktik beragama dan bertuhan. Tetapi tentu, kita sebagai muslim, kita meyakini  saat di alam dzuriyat setiap diri telah bersaksi bahwa hanya Allah, tuhan sesembahannya; tidak ada tuhan selain Allah. Nabi Muhammad saw yang dalam.rangkaian perutusan rasulullah sebagai rasul terakhir sebagai penyenpurna juga memberi nasihat bahwa setiap anak yang lahir ke dunia ini membawa fitrah.

Furman Allah dalam surat al-Nahl 78. Allah SWT berfirman, bahwa manusia diciptakan dan dilahirkan ke dunia ini
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun. “Allah telah mengeluarkan kamu sekalian dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui suatu apapun, dan Dia adakan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati, mudah-mudahan kamu menjadi (hamba-hamba) yang bersyukur kepada-Nya” .
Ketika  lahir,  tidak  mengetahui sesuatu apapun  bukan  berarti kosong sama sekali tetapi untuk menyatakan bahwa manusia ketika lahir itu dalam keadaan suci. Dalam kesucian ini setiap manusia dalam
kondisi fitrah. Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Rum 30 “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetaplah atas fitrah Allah yang telah meciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia  tidak  mengetahui.”  Al-Thabari  dan  Al-Syuyuthi menyatakan bahwa fitrah yang dimaksudkan di sini adalah fitrah keberagamaan, yaitu asal kejadian manusia telah mengakui adanya Tuhan sebagai Tuhannya.

Tegasnya yang dimaksudkan fitrah adalah Islam yang berintikan tauhid.Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-A‟raf 172, di mana manusia di alam dzuriat telah berikrar bahwa Allah adalah Tuhannya.   “Dan ingatlah  ketika  Tuhanmu mengeluarkan  keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap   jiwa   mereka   (seraya   berfirman):   “Bukankah   Aku   ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Benar Engkau Tuhan kami, kami menjadi  saksi.”  Sementara  ulama  lainnya  disamping  berpendapat bahwa fitrah berarti Islam, juga berarti potensi dasar.11

Hadis nabi  menyebutkan “Kullu mauludin yuladu „ala al-fitrati (Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah)” juga sejalan dan merupakan bayan tafsir dari ayat di atas. Manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Artinya ia memiliki seperangkat potensi-dasar sebagai faktor internal yang siap menerima pengaruh  baik  dari  orangtua,  guru  maupun  lingkungannya  sebagai faktor eksternal. Jadi dalam Islam, baik faktor internal maupun eksternal bersama-sama berpengaruh terhadap perkembangan manusia.

Dengan kemurahan Allah SWT, manusia dibekali dengan seperangkat potensi-dalam, yaitu al-sam`a (pendengaran), al-abshara (penglihatan)   dan   al-af‟idah   (hati).   Ketiga   kata   kunci   ini   telah
menggambarkan  adanya  tiga  potensi  dasar  yang  ada  pada  diri manusia,  al-sam‟a  melambangkan  adanya  potensi  phisik  (potensi panca indera), al-abshara (penglihatan) menggambarkan potensi akal- intelektual karena penglihatan, observasi, research, merenung melibatkan potensi akal ini, dan  al-af‟idah sebagai potensi hati.
Dengan seperangkat potensi-dalam (faktor internal) ini, kita dituntut untuk mensyukurinya, la`alakum tasykurun, yaitu dengan cara memberdayakannya semaksimal mungkin dan mempergunakannya sesuai dengan tuntunan Ilahi. Secara praksis, pemberdayaan potensi ini disebut sebagai faktor eksternal.
Pemberdayaan potensi phisik (olah phisik, olah raga) dengan berusaha memenuhi kebutuhan akan makanan minuman yang bergizi (halal dan thayyib) dan berolah raga secara teratur, akan melahirkan
manusia yang sehat, bugar dan serasi, sehingga memiliki ketrampilan (skill) yang memadahi. Pemberdayaan potensi akal-intelektual (olah pikir)  dengan  belajar,  observasi,  research  sampai  berfilsafat,  akan melahirkan  beragam  teori  ilmiah  dengan  aneka sains  dan  teknologi sampai pada lahirnya gagasan-gagasan yang filosofis. Pemberdayaan potensi hati (olah  rasa) dengan  iman, zikir,  amal salih  dan  amalan sufistik lainnya akan melahirkan orang-orang suci, amanah, siddiq, sabar, dan ikhlas mengabdi.

Bila ketiga potensi dasar ini diberdayakan secara simultan maka akan terciptalah insan kamil (manusia seutuhnya), karena ketiganya merupakan the gate of knowledge (pintu gerbang pengetahuan), yang dengannya manusia bisa mengembangkan dirinya secara sempurna. Untuk menjadi insan kamil, diperlukan usaha dan doa optimal. Oleh karenanya tidak semua orang bisa memenuhinya, bahkan oleh Allah dinyatakan bahwa kebanyakan manusia lalai, sehingga ketiga potensi ini terbengkalai atau pincang. “Dan (Allah) telah mengadakan pendengaran, penglihatan dan hati untukmu, tetapi sedikit kamu yang berterima kasih kepada-Nya” (QS. Al-Mukminun 78). Padahal di akhirat kelak, ketiga potensi dasar ini nanti akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah. “Janganlah engkau turuti segala hal  yang  tidak  engkau  ketahui  tentangnya.  Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, masing-masing akan diperiksa” (QS al-Isra 36).

Pemberdayaan potensi secara optimal dan simultan telah tercermin dalam kisah Ibrahim ketika mencari Tuhan. Oleh karenanya secara ideal hendaknya menjadi suri teladan yang harus diikuti oleh manusia.

Jadi sekal lagi, bahwa Islam itu intinktif; intuitif; dan dibawa sejak lahir, bertuhankan Allah itu pasti. Oleh karenanya saat masih hidup di dunia ini, kita mesti istikamah
keberislaman kita.

Tetapi, betapa realitas membuktikan bahwa tidak sedikit yang belum istikamah antara kesaksian primordial dengan keyakinan di sini, baik karena belum menemukan Rabbnya juga merengkuhnya dalam setiap aktivitas hidupnya di dunia ini. Nah pernyataan terakhir ini ketika disadari dan menjadi kilas balik dalam.mengabdi pada Ilahi, maka sejatinya agama telah lahir kembali pada dirinya. Inilah makna kedua dari agama, yakni kesadaran yang membawa pada ketundukan pada sang pencipta.

Nah setiap orang memiliki pengalaman dan pengamalan beragama yang berbeda-beda. Semoga kita dapat terus istikamah merengkuh kesaksian primordial dan praktik keseharian kita di dunia ini. 

Kini mari segera bangkit dari tidur nyenyak kita; mari bangun dari peraduan; mari menjemput kemenangan; mari menjemput karunia Allah. Pastikan segera ambil air sembahyang; shalat malam, dzikir, tilawah Qur'an,  bermunajat kepada Allah memohon ampunan dan memohon agar Allah memberi hidayah dan kekuatan kepada kita agar tetap bisa istikamah dalam ketaatan kepadaNya.

Aamiin Rabb.