Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lahirnya Keadilan


Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 20 Rabiul awwal 1443

Lahirnya Keadilan
Saudaraku,, di samping rasa aman damai dan sejahtera, lahirnya Kanjeng Nabi Muhammad saw dengan Islam yang didakwahkan nantinya, juga mengusung keadilan bagi umat manusia. Ya keadilan, yang secara populis dipahami sebagai sikap obyektif, perbuatan yang sesuai dengan kadarnya dan tidak memihak atau sepihak sehingga para pihak mencapai perasaan ridha karenanya.

Dalam bersikap adil ini, tentu, membawa kemaslahatan bagi diri dan sesamanya. Dalam hal ini diri sendiri dapat memulai sebagai standar keadilan, misalnya saat berinteraksi dengan sesamanya. Diri sendiri sebagai cermin, timbangan, atau barometer, atau ukuran, atau standar dalam bersikap terhadap sesamanya. Apalagi, dalam hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain meniscayakan adanya kesan umum sebagai nilai yang dijunjung tentang kebaikan, kesantunan, kesopanan, kebersahajaan, keramahtamahan, dan nilai-nilai kesalihan lainnya. Demikian juga sebaliknya, kesan umum tentang hal yang harus dijauhi seperti kejahatan, kedzaliman, ketamakan, kekikiran, kepicikan, kerakusan, kesemrawutan dan kejelekan lainnya.

Oleh karenanya, dalam iman Islam, kita dituntun untuk mengukuhkan keshalihan dan menghindari perilaku buruk ke atas sesama. Sudah semestinya kita berbuat baik kepada orang lain. Dengan kebaikan, niscaya orang lainpun berbuat baik terhadap kita. Agar diri kita dihormati, maka kitapun harus bisa menghormati orang lain. Agar dikasihsayangi, maka kitapun bersikap kasih sayang pada sesama. Agar bisa memimpin dengan baik, maka saat dipimpin juga berlaku baik. Agar diperlakukan sopan, maka kita juga berlaku sopan pada sesama. Bila kita diberi hadiah merasa berbunga-bunga, maka kita juga harus sering memberi hadiah pada sesama. Senang saat dikunjungi oleh saudara, menjadikan diri kita juga suka mengunjungi pada sesama.

Agar saat wafat dishalatkan oleh banyak orang, maka selagi hidup kita juga sebaiknya ikut menshalatkan orang yang telah duluan dipanggil oleh Allah, apalagi masih dalam jangkauan. Agar didoakan oleh anak cucu, maka kita berkewajiban mendoakan orangtua kita. Dan seterusnya.

Sikap sebaliknya, demikian juga adanya. Bila tidak suka dicuekin saat bicara, maka kita dituntun untuk bisa memperhatikan dengan seksama siapapun yang bicara dengan diri kita. Bila sakit hati saat dihina, maka diri kita juga dituntun untuk tidak menghina sesiapapun dia. Agar tidak ditelantarkan oleh anak cucu kita, maka kita dituntun untuk peduli pada ayah ibu orangtua kita.

Begitulah kira-kira sunatullahNya yang berlaku di alam ini. Bahkan dalam batas kemahaadilanNya, Allah juga memberikan balasan setimpal kepada seluruh makhluk-Nya di dunia dan kelak di akhirat, sesuai dengan amal masing-masing. Allah tidak akan mendzalimi makhluk-Nya sedikit pun. Allah berfirman yang maknanya, Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarah….” (Qs. Al-Nisâ`40).

Keadilan Allah efektif pada sekecil apapun usaha dan perbuatan hamba-hambaNya. Allah menganugrahkan kebahagiaan kepada hamba-hambaNya yang bersyukur, tetapi Allah juga memberi ancaman berupa kesengsaraan kepada siapa saja yang mengingkari karuniaNya. Allah berfirman yang maknanya, Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Qs. Ibrahim 7)

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.” (Qs. Al-Zalzalah: 7-8).

Dengan keadilanNya juga, Allah membalas kebaikan dengan kebaikan (baca keberhasilan, kebahagiaan, dan surga), namun demikian juga membalas kejahatan dengan keburukan (baca kegagalan, kesengsarazn, dan neraka).

Meskipun di banyak tempat, Allah juga membalasi kebaikan berlipat ganda. Allah berfirman yang maknanya, Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.(Qs. Al-Baqarah 245)

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Qs. Al-Baqarah 261)

Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. (Qs. Al-Baqarah 265) Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (Qs. Al-Nisa 40)

Dengan ragam normativitas di atas, maka Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil, syukur-syukur bisa meneladani sifatNya membalasi kebaikan dengan berlipat ganda. Di samping itu, tentu, ajaran keadilan juga mewujud dalam ranah hukum.. Aamiin ya Rabb