Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lahirnya Kesamaan Derajat


Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 14 Rabiul Awwal 1443

Lahirnya Kesamaan Derajat
Saudaraku, sejatinya setiap manusia dilahirkan ke dunia ini sama; sama-sama sebagai makhluk ciptaan Allah dan dalam kondisi fitrah, suci, tidak membawa dosa warisan. Kalaupun berbeda, maka perbedaan itu terletak pada asesoris saja agar mudah dikenali antar satu dengan lainnya, bukan untuk dibeda-bedakan. Apalagi di antara perbedaan tersebut hanya menempel dan terjadi pada masa belakangan saja. 

Untuk bisa saling dikenali, ada di antara mamusia yang warna kulitnya berbeda, panjang atau pendek badannya tidak sama, pesek atau mancung hidungnya juga, rupawan atau kurang wajahnya, kaya atas tidaknya, trah merah atau biru darahnya, berilmu atau kurangnya. Sekali lagi semua perbedaan bersifat asreoris saja.

Adapun, secara subtantif yang melekat sejak lahir ya sama, yakni fitrah, suci, dan Islam. Lahirnya sama-sama telanjang tanpa busana atau apapun yang melekat padanya kecuali darah nifas ibundanya. Tidak ada bayi lahir dalam kondisi rupawan atau hartawan atau cendekiawan. Semua ini bisa jadi akan menempel atau ditempelkan belakangan oleh sosiokultural yang melingkupinya. 

Oleh karena itu, sejatinya setiap diri memiliki kedudukan yang sama di hadapan Ilahi Rabby. Sana-sama sebagai hamba yang mestinya mengabdi. Inilah makanya semua kita mengemban peran sebagai 'abdullah (hamba Allah). Ingat ya, hamba Allah, bukan hamba harta ('abdul mal), bukan hamba dubia ('abdu dunnya) dan bukan hamba setan ('abdul saithan).

Di samping itu, dalam kapasitasnya sebagai makhluk di bumi, kita sebagai manusia juga mengemban peran khalifah yang harus mengelola bumi dan memakmurkannya untuk kemaslahatan seluas-luasnya bagi kehidupan. 

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap diri memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah, yakbi sebagai abdullah dan khalifatullah  Namun dalam realitas sejarah kemanusiaan sering menunjukkan fakta yang berbeda. Tetnyata, dalam sejarah kemanusiaan kemudian lahir stratifikasi sosial yang didasarkan atas asesoris yang menempel atau sengaja ditempelkan belakangan tadi.

Karena keluarganya kaya atau punya tahta, maka dengan kekayaan dan jabatannya bisa membuat gelap mata siempunya. Karena dengan harta dan tahtanya bisa merasa memiliki kedudukan tinggi, maka penginnya dihormati, disanjung dan dipujapuji. Bahkan, bisa-bisa memperlakukan orang lain juga seenaknya sendiri, maunya dilayani dan diangkat tinggi-tinggi di atas bumi ini. Na'udzubillah!

Karena bergelimang dalam harta dan tahta, maka pendidikan atas dirinyapun terjamin. Mau sekolah di mana saja tinggal memilih; mau kuliah di universitas/PT mana saja tinggal tunjuk; mau memanggil tutor dan guru apa saja untuk ke istananya tinggal anggukkan kepala dan seterusnya.  Intinya untuk pinter, banyak sekali fasilitas yang tersedia. Nah, inilah makanya dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya juga bisa membuat seseorang punya kelas tersendiri, sok mulia, sombong, dan bergaulnya tebang pilih. 

Kelebihan yang bersifat asesoris pada seseorang seolah bergayung sambut dengan kondisi sosial budaya masyarakat dimana tinggal, sehingga stratiikasi atau klasifikasi (kaya miskin, atau terpelajar tidak; merdeka budak) menjadi jamak. Perlakuan diskrininatif menjadi lumrah. Dan kondisi seperti inilah di antaranya yang melatari lahirnya Nabi Muhammad saw. 

Ya, kalau yang namanya bintang, tetap gemerlapan justru di saat malam kelam (jahiliyah) sekalipun. Lahirnya Nabi Muhammad saw dengan Islam yang dibawa nantinya mengusung pesan yang sangat kuat bagi kesamaan derajat (musawah) dan membebaskan manusia dari perbudakan atau perilaku diskriminatif lainnya di atas bumi ini.

Dalam pandangan Allah, semua manusia memiliki kedudukan sama, kecuali ketakwaannya. Nanti di kemudian hari, Rasulullah Saw bersabda : “Dari Abi al-Yaman, al-Azhari menceritakan dari al-Utaiby: Sesungguhnya yang dikehendaki Nabi dalam hal ini adalah bahwa manusia adalah sama (setara) dalam nasab. Tidak seorang pun dari mereka memiliki kelebihan (dari yang lainnya), akan tetapi mereka serupa, seperti 100 ekor unta yang tidak memiliki induk” (Hr. Bukhari)

Dari segi nasabnya, semua manusia sama, tetap dari segi nasib bisa beda-beda bergantung pada garisan atau ketentuan Allah yang maha bijak dan ikhtiar hamba. Dari sinilah nantinya terdapat perolehan ilmu dan iman (ilnu + iman = takwa). 

Allah berfirman yang artinya Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Qs. Al-Hujurat 13)

Ketakwaan seorang hamba mengapa berbeda-beda? Ya karena peran abdullah dan khalifatullah yang diemban oleh masing-masing juga dinamis sifatnya. Ada yangsangat istikamah, tapi juga ada yang biasa saja.

Allahu a'lam