Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lahirnya Rasa Aman


Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 17 Rabiul Awwal 1443

Lahirnya Rasa Aman
Saudaraku, , di samping kesetaraan gender, lahirnya nabi Muhammad saw dengan Islam yang didakwahkannya semasa hidupnya, juga menyediakan rasa aman bagi orang-orang yang merengkuhnya. Mengapa? Oya, karena orang-orang yang merengkuh Islam berarti telah mendasarinya dengan iman dan menjauhi perilaku syirik.  Nah orang-orang yang memelihara kemurnian akidah sebagaimana telah diingatkan dalam muhasabah sebelumnya, akan merasa aman sebagsimana janji Allah yang tertera dalam Qs. Al-An'am 82 di atas.

Sebagaimana dirasakan bahwa rasa aman merupakan kebutuhan phikhis yang relatif mendasar bagi setiap orang. Maka sudah menjadi kelaziman bahwa setelah atau bersamaan ketika berhasil memenuhi kebutuhan fisik lahiriah, maka kita sebagaimana halnya manusia pada umumnya menghajadkan pemenuhan kebutuhan phikis. Di antara kebutuhan phikis adalah rasa aman. Kalau rasa aman ini bermasalah maka akan buyarlah yang lainnya.

Rasa aman dipahami sebagai kondisi phikologis yang damai, tenang, tentram dan bebas tekanan dan rasa takut dari siapapun, apapun, kapanpun dan dari manapun. Jadi aman lahir aman batin. Saat di rumah, di tempat kerja atau saat ke manapun kaki melangkah, saat beraktivitas, saat berinteraksi sosial, saat menunaikan ritual ibadah mahdhah bisa dilakukan dengan lancar, sungguh-sungguh, khusuk, dan istiqamah. Begitu juga rasa aman dirasakan oleh keluarga kita yang di rumah atau juga saat mereka beraktivitas di luar rumah. Semuanya berjalan secara alamiah mengikuti sunatullahNya yang indah.

Di samping dirasakan internal diri dan keluarga kita, rasa aman tentunya juga harus dirasakan oleh orang-orang dan para pihak seluas-luasnya atas kehadiran diri kita. Jangan sampai kejadian, bahwa kehadiran diri kita membuat orang lain khawatir, takut dan tidak berkenan di hati, sehingga sebisanya mereka menghindari kebersamaannya dengan diri kita.

Secara fisik lahiriah, untuk menghadirkan rasa aman, manusia membangun rumah yang besar atau kuat, rapat, berpagar keliling yang tinggi berduri. Tidak cukup dengan bangunan dan pagar fisik ini, ada yang menggaji satpam atau algojo lengkap dengan aneka senjata dan anjing penjaga. Demikian juga saat bepergian, berkendara yang kencang larinya, mengenakan pakaian yang anti senjata tajam lengkap dengan pengawal pribadi di sekelilingnya.

Tetapi juga, di samping membangun pagar fisik seperti yang digambarkan di atas, untuk memperoleh rasa aman ada banyak di antara kita yang juga membangun pagar sosial. Dan ternyata, dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, realitas pagar sosial ini lebih signifikan dan efektif untuk melahirkan rasa aman.

Pagar sosial yang dimaksudkan di sini adalah jalinan interaktif yang dibina oleh seseorang dengan sosiokulturalnya. Bila jalinan interaktifnya berlangsung erat, kuat dan bersemangat, maka tetangga dan komunitas sosial budaya di sekitar kita kemudian akan berkontribusi positif terhadap keamanan dan kenyamanan akan keberadaan diri, keluarga bahkan harta benda (pekarangan dengan segala rupa penghasilannya, rumah dengan segala isi simpanan di dalamnya).

Saudaraku, lebih dari segalanya itu, bila ternyata masih bermasalah dengan rasa aman, baik kuantitas maupun kualitasnya maka perlu muhasabah lebih intensif; sejauh mana kita sudah mengusahakan menjemputnya, terutama menyertakan Allah dalam setiap ranah kehidupan kita. Dalam konteks inilah Allah sebagai al-Mukmin menjadi nyata pentingnya. Nah di sinilah sejatinya rasa aman bersinergi dengan iman. Mau merasa aman harus hidup bersama iman, dan dengan iman kepada Al-Mukmin maka hidup menjadi aman dan nyaman. Orang beriman akan aman, dan kalaupun kemudian diberi kepercayaan maka akan amanah.

Seorang mukmin adalah pribadi jujur, amanah yang pemberi rasa aman; satu kata antara hati, lisan dan perbuatannya dalam rangka meraih ridha Allah. Mengapa? Karena sebagai seorang mukmin harus ditunjukkan bahwa hatinya telah membenarkan apa yang datang dari Allah, lisannya mengikrarkannya dan mengukuhkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Seorang mukmin seharusnya telah menemukan hakikat kebenaran, dan dengan kebenaran ini mendapatkan keyakinan dan optimisme yang kemudian melahirkan kesunguhan, kreatifitas dan inovasi.
Ketika rasa aman sudah meliputi hati dan kehidupan kita, maka sudah semestinya mensyukurinya, baik di hati, lisan maupun perbuatan nyata. Pertama, meyakini sepenuh hati bahwa Allah adalah zat yang maha kuasa menjadi sumber ketenangan dan keamanan hamba-hambaNya. Kedua, mensyukuri dengan lisan seraya terus memujiNya, memperbanyak melafalkan alhamdulillahi rabbil'alamin, Allah telah nenganugrahi iman yang kukuh kepada kita, menurunkan rasa aman kepada kita, menjadikan kita amanah dalam kehidupan ini. Ketiga, mensyukuri dengan tindakan nyata yaitu meneladani dan mengukuhkannya dalam kehidupan sehari-hari. Di antaranya dibuktikan dengan menjadi pribadi yang dapat dipercaya, memberikan rasa aman kepada para pihak, jujur satunya kata antara hati, ucapan dan perbuatannya, janjinya benar dan pasti ditepatinya.Allahu a'lam