Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lahirnya Rasa Syukur

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 21 Rabiul Awwal 1443

Lahirnya Rasa Syukur
Saudaraku, di samping rasa aman damai sejahtera dan berkeadilan, lahirnya Kanjeng Nabi Muhammad saw dengan Islam yang didakwahkan nantinya, juga menekankan sikap bersyukur. Bahkan, secara subyektif, saya sering menyampaikan bahwa seandainya terdapat satu kata sebagai representasi kewajiban hamba ke atas Rabbuna, maka kata itu adalah bersyukur. Ya bersyukur mewujud dalam praktik shalat, puasa, zakat haji, berbagi, dzikir, dan seterusnya.

Kapan kita bersyukur? Ya sekarang ini; saat masih di alam dunia ini. Karena setelah alam dunia, kita akan hidup di akhirat sebagai alam, tempat dan keadaan menuai nilai dan derajat rasa syukur kita saat hidup di dunia ini. Maka seberapa rasa syukur yang bisa kita kukuhkan saat hidup di dunia ini, akan sangat menentukan derajad hidup kita, baik di dunia ini maupun apalagi di akhirat nanti. 

Apatah lagi, sejatinya bersyukur itu berpulang pada diri sendiri. “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim 7). Ketika kita bersyukur, maka janji Allah akan menambahi ragam karuniaNya atas kita. Bila tambahan karunia ini tidak kasat mata, seperti tambahnya penghasilan, tambahnya harta benda, menaiknya tahta, atau yang kasat mata lainnya, maka bisa saja bertambah nikmat iman, nikmat ilmu, nikmat berkeluarga, nikmat bersaudara, nikmat bertetangga, tambah tentram, semakin khusyuk saat shalat, semakin ikhlas mengabdi, senakin ikhlas melayani dan tambahan nikmat phikis lainnya yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Pemahaman mafhum mukhalafahnya, jangan-jangan hati tidak tentram justru disebabkan oleh kurangnya rasa syukur kita. Harta benda atau penghasilan tidak bertambah-tambah, jangan-jangan karena sedikitnya rasa syukur kita. 

Oleh karenanya bersyukur itu seyogyanya mewujud pada sikap dan kemampuan mengapresiasi ragam karunia yang diberikan Allah atas diri kita seorang hamba dengan melibatkan totalitas kepribadian. Ucapan, pikiran dan tindakannya istiqamah, membuktikan rasa syukur di hatinya. Mensyukuri karunia yang diberikan Allah, selain berucap alhamdulillah, yang lebih penting lagi adalah pikiran dan tindakan dalam kehidupannya harus selalu diorientasikan untuk mencari ridha Allah. 
Anugrah hidup, harus diapresiasi dengan memanfaatkan kesempatan hidupnya untuk terus mengabdi hanya padaNya dan memakmurkan bumi. Dianugrahi kehidupan yang layak dan mapan, disyukuri dengan alhamdulillah dan membelanjakannya di jalan Allah, seperti menolong agama Allah, dan meringankan beban sesamanya. Dianugrahi ilmu, disyukuri dengan alhamdulillah seraya mengamalkan dan mentransfer ke atas sesamanya. Kebahagiaan berkeluarga disyukuri dengan alhamdulillah seraya menjalaninya dengan saling asih asah asuh dalam kesabaran dan kebaikan sehingga mawaddah warrahmah. Dianugrahi amanah tahta, dusyukuri dengan innalillahi wainna ilaihi rajiun seraya menjadikannya sebagai wasilah untuk meraih surga sehingga lebih melayani sesama dan mengabdi pada Ilahi. 

Ada tidaknya rasa syukur pada diri kita sebagai seorang hamba dan tinggi rendahnya kualitas syukur juga merupakan sikap religiusitas yang sangat mempribadi. Oleh karenanya inplementasi syukur dapat berbeda-beda sesuai tingkat religiusitas masing-masing. Bila dilihat dari perspektif tasawuf, syukur merupakan salah satu maqam atau terminal yang harus diraih untuk dikukuhkan dan diliwati oleh setiap pendakian menuju Rabbnya. Adapun hal keadaan sebagai konsekuensi, perolehan dan janji Allah bagi orang yang bersyukur paling tidak akan mendapatkan tiga kebaikan. 
Kebaikan pertama, sesungguhnya jika kamu bersyukur, maka pasti Aku (kata Allah) akan menambah (nikmat) kepadamu”. (QS. Ibrahim: 7).  Kebaikan kedua, selamat dari siksaan Allah. Tidaklah Allah akan menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman. dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nisaa’: 147). Kebaikan ketiga, mendapatkan pahala yang besar. “Dan Allah akan memberi ganjaran pahala bagi orang-orang yang bersyukur”. (QS. Ali ‘Imran: 144)Dengan demikian karunia-karunia lain berikutnya, dalam kondisi bahagia dan tidak tersiksa, serta ganjaran pahala yang besar hanya akan diperoleh dengan bersyukur.

Hebatnya, ajaran Islam tentang tuntunan bersyukur benar-benar terasa. Terlepas harus terus memohon hidayahNya, kita juga baca ajarannya; agar lebih ringan untuk bersyukur atas karuniaNya, kita dituntun apresiatif sembari mengambil ibrah dari orang-orang yang tidak seberuntung diri kita.  Mestinya mensyukuri hidup, karena betapa banyak saudara kita yang sudah berpulang ke haribaanNya; Harusnya mensyukuri karunia harta, karena betapa tidak sedikit orang-orang papa yang tidak seberuntung diri kita; Idealnya mensyukuri tahta yang diamanahkan karena masih banyak pihak yang tidak pernah merasakan meski menginginkannya; Mestinya mensyukuri bisa berjalan ke sana ke mari, karena ada banyak yang tidak bisa menikmatinya; Mestinya mensyukuri punya kendaraan karena betapa banyak yang justti hanya bisa melihatnya. Dan seterusnya dan seterusnya.
Sebaliknya, dalam tuntutan motivatif untuk meningkatkan kualitas katakwaan, kita dituntun mengambil ibrah dari orang-orang yang lebih hebat dari diri kita.

Langkah konkretnya sekarang mari segera bangun tidur untuk menjemput karunia Allah ta'ala. Pastikan segera ambil air sembahyang; shalat malam, dzikir, tilawah Qur'an,  bermunajat kepada Allah memohon ampunan dan berharap agar Allah memberi hidayah dan kekuatan kepada kita untuk dapat istikamah bersyukur padaNya. Dengan bersyukur, kita dapat merasakan bahagia demi bahagia hingga Allah menyempurnakannya saat kita di sisiNya. Aamiin

Allahu a'lam