Lahirnya Tatanan Baru
Saudaraku, seperti yang sudah sering disampaikan bahwa bila tuntutan dinilai sebagai suatu kewajiban, tuntunan dipandang sebagai kemuliaan akhlak, maka ketika sistem nilai ini sudah membumi dan melembaga dalam kehidupan bermasyarakat lahirlah tatanan kehidupan yang baik. Inilah yang melatari tema muhasabah hari ini sehingga diracik di bawah judul lahirnya tatanan bermasyarakat.
Dalam prosesnya, memang, selagi masih berupa tuntutan terkadang ia bisa memaksa atau dipaksakan untuk dilembagakan, namun setelah menjadi tuntunan maka biasanya ia dirasakan sebagai kebutuhan, dan saat menjadi tatanan maka ia akan terasa kelezatan yang kemanfaatannya yang bisa dirasakan bersama.
Inilah tatanan kehidupan bermasyarakat yang disinari oleh nilai-nilai ilahiyah, sehingga sivitas warganya hidup sejahtera dengan saling asah asih dan asuh menggapai rudha Allah ta'ala. Lihatlah bagaimana masyarakat yang dibina oleh Rasulullah saw saat kekuasaan berada di tangan beliau. Inilah masyarakat utama ysng nantinya juga sering disebut sebagai masyarakat ideal atau madinatul fadhilah, terutama saat di Madinah. Di tanah kelahirannya sendiri, mulanya Islam tidak mendapat simpati yang memadahi sehingga Nabi Muhammad saw dengan para pengikut setianya yang dikenal dengan asabiqunal awwalun harus hijrah berkali-kali. Dan Islam mendapat momentumnya secara signifikan justru di wilayah moyangnya dimana jasad ayahandanya diistirahatkan, yaitu di Yastrib atau nantinya dikenal dengan nama Madinah al-Munawarah.
Di Madinahlah, berhimpun orang-orang Islam dari Makkah yang melakukan hijrah sehingga disebut kaum muhajirin, dan orang-orang Madinah yang menerima dan menolongnya sehingga dikenal dengan kaum anshar, serta para penduduk ahlul kitab yang bernaung di bawah kekuasaan Islam yang disebut dengan kafir dhimmi atau orang yang dilindungi. Mereka semua berhimpun di bawah panji-panji Islam, sehingga mendapat predikat khairu ummah, masyarakat terbaik, masyarakat utama. Predikat ini diperoleh, karena umat Islam dan orang-orang yang hidup pada periode awal di bawah kepemimpinan Nabi saw bersedia menerima Islam sebagai way of life. Nilai-nilai Islam bebar-benar mengkristal dalam tatanan bermasyarakat yang indah.
Adapun di antara karakteristik keutamaan keindahan tatanan dalam bermasyarakat adalah kemampuan dan kesediaan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupannya. Sivitas warganya berhasil menunjukkan keshalehan individual sekaligus kesalehan komunal dengan terus menerus beramar ma’ruf nahi munkar antar sesamanya. Inilah kemudian diilustrasikan dalam firman Allah yang artinya Engkau sekalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (QS. Ali-‘Imran 110).
Lihatlah betapa indahnya tatanan bermasyarakat yang dibangun atas dasar religiusitas sivitas warga bangsanya.
Dimana norma atau aturan mengenai perilaku yang didasarkan atas aturan atau norma Islam. Norma atau aturan ini dapat secara istikamah dipraktikkan dalam pergaulan antarmanusia, antartetangga, antarmasyarakat, antar organisasi sosial, dan antarnegara bangsa di dunia ini.
Terdapat minimal tiga karateristik tatanan bermasyarakat, yaitu adanya pendidikan dan dakwah yang mengajarkan kebaikan, pembebasan dari unsur kejahatan, dan keimanan.
Pertama, adanya pendidikan atau dakwah. Karakter ini harus dimaknai sebagai proses memanusiakan manusia. Manusia harus dididik atau didakwahi agar tetap menjadi manusia, tidak menjadi binatang apalagi menjadi setan. Supaya manusia tetap menjadi manusia, hanya ada satu cara yaitu mendidiknya.
Karena manusia disebut human maka Kuntowijoyo menyebutnya sebagai gerakan humanisasi, memanusiakan manusia. Pada ayat tersebut ditegaskan bahwa karakter pertama harus dibiasakan untuk saling berwasiat berbuat baik dan berjalan di atas jalan ketakwaan.
Kedua, pembebasan diri dari unsur kejahatan dan kemungkaran atau gerakan liberalisasi. Sekecil apapun kejahatan atau kemungkaran mestinya dicegah secara kolektif. Bagi orang yang memiliki kekuasaan, dapat nencegah kejahatan atau kemungkaran dengan kekuasaan, kebijakan dan regulasinya. Bagi orang yang memiliki ilmu maka melalui dakwah lisan atau tulisannya dapat mencegah terjadinya kejahatan dan kemungkaran. Bagi orang biasa yang tidak memiliki kekuasaan maupun ilmu pengetahuan, minimal tidak memperberat keadaan dengan membenci semua perbuatan keji dan mungkar..
Ketiga, religiusitas yang didasari oleh keimanan yang kukuh. Keimanan ini menghajadkan tekad kuat untuk membenarkan di hati, mengikrarkan dengan lisan, dan membuktikan dengan perbuatan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai orang beriman tentu akan berusaha melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan meninggalkan yang dilarang.
Semoga kita menjadi bagian tak terpisahkan dari proses yang dapat memastikan tatanan bermasyarakat kukuh dalam kehidupan. Aamiin ya Rabb