Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hidup itu Memberi

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 13 Rabiul Akhir 1443

Hidup itu Memberi
Saudaraku, dalam kapasitasnya sebagai makhluk individu pasti memerlukan orang lain, apalagi sebagai makhluk sosial, setiap diri pasti memiliki keterikatan satu sama lainnya. Dalam konteks ini, interaksi dan relasi pasti tercipta. Dalam praktiknya, tentu harus saling melengkapi, dan saling butuh membutuhkan. Di samping menerima sebagaimana muhasabah yang baru lalu, mestinya juga memberi. Nah inilah latar muhasabah yang berjudul hidup itu memberi sebagaimana judul muhasabah hari ini.

Bila setelah menerima lalu bersyukur atau berterima kasih sudah merupakan kebaikan, maka apatah lagi mampu memberi (maslahat). Nah memberi, meski berharap menerima kembali sudah dinilai sebagai kebaikan, maka apatah lagi ketika mampu memberi tanpa berharap menerima balasannya lagi pasti hal ini merupakan kearifan yang memuliakan. Tentu, juga termasuk memberi dengan tangan kanan tanpa diketahui oleh tangan kiri.


Dalam hidup dan kehidupan ini, memberi (baca berbagi) menjadi keniscayaan, antara menerima dan memberi meski silih berganti, namun tuntunan untuk dapat memberi tetap merupakan kemuliaan yang harus diprioritaskan. Tangan ketika di atas tentu memuliakan, tangan saat di bawah semoga hanya saat memohon pada Tuhan. Oleh karenanya memberi bantuan, menyediakan beasiswa, memberi bimbingan, menumpahkan kasih sayang, memberi santunan, memberi sapaan, memberi senyuman, memberi perhatian atau memberi apapun kebaikan kepada siapapun - atau bahkan kepada apapun - tetap diapresiasi tinggi.

Karena merupakan kemuliaan, maka idealnya pemberian tidak terikat dan tidak karena mengharapkan balasan. Inilah di antara sikap mulia banyak orangtua ketika ''memberikan'' segalanya untuk putra-putrinya. Persis seperti sang mentari yang selalu menyinari tanpa harap kembali.

Untuk mengamalkan ajaran memberi dalam praktiknya, kita bisa memulai sedari sekarang dari yang "mudah" juga murah tetapi sangat memuliakan. Misalnya sekarang ini kita memberi keteladanan pada istri/suami dan anak-anak kita dengan bangun tidur dan menghidupkan 1/3 terakhir setiap malamnya, sehingga keluarga kita dapat memulai mengikuti. Memberi teladan secara praktis ini bisa dilakukan secara istikamah sehingga dapat memengaruhi secara positif bagi keluarga dan sesamanya. Oleh karenanya dapat diperluas skope keteladanannya, termasuk dalam beramar makruf nahy munkar, berkeluarga, menegakkan shalat, menjaga kedisiplinan, mendidik,... dan seterusnya.

Memberi perhatian semoga termasuk murah dan mudah dilakukan, seperti halnya membangunkan keluarga untuk ikut dan memulai bangun dini hari dan menegakkan malam dengan ibadah. Bila sulit, maka anggap saja sekarang ini kita mau berangkat ke suatu tempat dengan pesawat pertama yang akan terbang pukul 06.00 pagi. Check ini harus dilakukan paling lambat pukil 05.00 atau satu jam sebelum keberangkatan. Untuk kenyamanan hati dan untuk tidak ketinggalan pesawat lazimnya kita bangun pukul 03.00 lalu berkemas dan sebelum pukul 04.00 sudah menuju bandara sehingga lebih cepat check innya.  Mengapa yang urusan duniawi, kita rela bangun pukul 03.00 lalu untuk urusan menjemput karunia Ilahi melalui tahajud, witir, dzikir dan doa dini hari menjadi berat dilakukan? Bukankan Allah juga "cemburu" mengapa hambanya lebih cinta "naik pesawat" ketimbang diriNya yang senantiasa menganugrahi rezeki?

Saat subuhan berjamaah misalnya dengan keluarga, kita juga bisa memberi pelajaran anak-anak kita melalui tilawah Qur'an, memberi salam, memberi senyuman, membeti apresiasi, dan memberi nasihat secara proporsional. Ketika keluar rumah untuk olah raga pagi, sudah disambut oleh kucing nengeong seraya mengibaskan ekornya ke kaki kita pertanda minta makan dan kitapun memenuhinya.

Demikian juga memberi perhatian terhadap vasilitas barang-barang yang telah memudahkan kita dalam menjalani hidup ini. Ada perkakas rumah, perabotan, mebeler, kendaraan dan lainnya juga perlu perawatan. Di sinilah perlunya sentuhan perhatian tangan kita. Kita mestinya menaruh perhatian secara bijak proporsional.

Kemudian selagi kita berkomunikasi dan berinteraksi antarsesama, tentu juga harus memberi perhatian dan apresiasi secara proporsional. Terdapat semacam sunatullah dalam kehidupan ini. Kita banyak menerima karena banyak memberi; kita disayangi karena kitapun pengasih sayangi, laa yurham walaa yarham; kita dihormati karena kita menghormati dan seterusnya.

Dengan demikian ajaran memberi kebermanfaatan dan berbagi kemaslahatan dapat saja sedari pemberian berupa materi sampai immateri. Inilah di antara makna hidup. Bila belum dapat memberi "harta" atau "tahta", detidaknya kita mesti berusaha untuk bisa memberi kenyamanan pada sesiapapun dan apapun. Artinya di samping memberi kesempatan bagi sesama untuk merasa bshagia, maka kehadiran kita jangan sampai  membuat orang takut atau was-was akan keselamatan diri, keluarga maupun hartanya.  Semoga ajaran memberi dapat dikukuhkan secara konsisten sehingga hidup ini menjadi mudah dan berkah. Aamiin