Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lahirnya Peradaban Baru


Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 27 Rabiul Awwal 1443

Lahirnya Peradaban Baru
Saudaraku, bila sudah terbangun tatanan dslam bermasyarakat dan negara yang baldatun thayibatun wa Rabbun ghafur sebagaimana pesan muhasabah sebelumnya, maka sejatinya kita sedang mencita cintakan lahirnya sebuah peradaban baru. Ya peradaban baru yang dibangun atas dasar religiusitas sivitas warga bangsanya.

Sebagaimana diketahui bahwa inti dari perababan terangkai dari kata dasarnya yaitu adab dipahami sebagai norma atau aturan mengenai sopan santun yang didasarkan atas aturan atau norma Islam. Norma atau aturan ini dapat secara istikamah dipraktikkan dalam pergaulan antarmanusia, antartetangga, antarmasyarakat, antar organisasi sosial, dan antarnegara bangsa di dunia ini.

Peradaban baru tentu bukan sebatas utopia, namun sebagai proses yang terus menerus diupayakan oleh hamba-hambaNya yang baik saat hidup di dunia ini, meski dengan perjuangan dan jatuh bangun sekalipun.
Peradaban baru inilah sejatinya eksistensi dan jati diri bangsa dikukuhkan. Lihatlah bagaimana peradaban dari berbagai-bagai bangsa eksis, dipelajari, dikenang dan dihidupkan kembali.

Lahirnya peradaban pada suatu bangsa merupakan bangunan yang meniscayakan tegaknya pilar-pilar penyangganya. Berdasarkan firman Allah yang artinya kamu sekalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah (QS. Ali-‘Imran:110), maka terdapat minimal tiga pilar untuk terbangunnya peradaban, yaitu adanya pilar gerakan humanisasi, gerakan liberalisasi dan gerakan transendensi.

Pertama, gerakan humanisasi. Merujuk pada Qs Ali Imran 110 maka pilar pertama untuk melahirkan peradaban adalah menjamin terselenggaranya proses memanusiakan manusia seperti dalam bentuk pendidikan dan pengajaran serta dahwah. Manusia hanya tetap disebut manusia ketika berada dalam kebaikan, ketika dalam kefitrahannya. Oleh karena itu ketika manusia berkubang dalam dosa karena kelemahannya, maka ia tak ubahnya binatang ternak yang kerjanya hanya makan tidur dan beranak pinak, lalu disembelih oleh tuannya. Dan ketika manusia terlibat dosa karena kejahatannya, maka ia tak ubahnya setan yang kerjanya hanya menghasut, mengadu domba, dan mencelakakan pihak lain.

Demi mempertahankan eksistensi jati dirinya sebagai manusia, maka usaha memanusiakan manusia menjadi penting. Usaha ini harus dilakukan secara simulthan dari segi pelaksananya, pendekatannya, strateginya, metodenya, caranya, tekniknya, materinya, maupun sarana prasarananya. Terjalin berkelindanya satu aspek dengan lainnya harus sistemik bersinergi menggapai tujuannya.

Secara individual maupun kolektif, setiap orang dalam posisi dan perannya masing-masing mesti berkontribusi positif pada proses dan pencapaian tujuan peradaban yang diinginkan.

Kedua, gerakan liberalisasi. Pilar kedua ini dimaksudkan untuk mengukuhkan kondisi sosial kemasyarakatan dan budaya yang bersih dan bebas dari unsur-unsur kejahiliyahan. Teologi pembebasan harus efektif membentengi dan membersihkan anasir kejahiliyahan yang (mungkin saja) masih terjadi dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Gerakan ini mengakomodir dan menjamin kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, agama steril dari unsur-unsur destruktif, manupulatif, dan hal-hal yang kontra produktif lainnya. Usahanya sendiri dapat dimulai dari masing-masing individu, lalu keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Ketiga, gerakan transendens. Pilar ini dimaksudkan untuk mengukuhkan aspek keberagamaan yang didasari dengan iman yang kokoh. Iman yang mewujud secara nyata dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Aspek iman harus melekat dan dibawa ke mana-mana, bukan hanya saat di mesjid atau saat shalat saja, tetapi juga saat berjual beli di pasar atau mal, saat olah data di kantor-kantor, ketika mengajar di lembaga pendidikan, saat di jalan raya, saat berkendara, ketika di kamar tidur, saat makan minum, bahkan saat di kamar kecil sekalipun. Mengapa?

Karena dengan iman ia akan menuntun kita untuk menapaki jalan keridhaanNya saja, bersama iman ia akan menunjuki kita jalan yang benar mesti terkadang nampak sulit untuk kita penuhi dan jalan yang salah meski terkadang nampak mudah untuk kita liwati.
Orientasi hidup mestinya hanya pada keridhaanNya saja, tidak yang lainnya.

Allahu a'lam