Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hidup itu Agar Hidup

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 29 Rabiul Akhir 1443

Hidup itu agar Hidup
Saudaraku, ketika pengamalan dan pengalaman hidup kita hanya berisi kebaikan, maka sejatinya ia akan lestari. Lestari kebaikannya dan abadi hidupnya. Inilah yang loen tuan maksudkan bahwa hidup itu agar tetap hidup; hidup bukan semata untuk mati. Karena mati itu menjadi tidak ada, kontra dengan hidup yang artinya ada. Inilah yang melatari muhasabah hari ini sehingga diracik di bawah judul hidup itu agar hidup (kekal abadi di surga)

Cita-cita agar "hidup abadi" harus dibarengi dengan mengikuti sunatullahNya. Untuk tujuan agar tetap hidup meski setelah tidak di dunia ini sekalipun, kita harus bisa memahami setidaknya tiga pertanyaan sekaligus kemampuan memberikan jawabannya. Pertanyaan "kita berasal dari mana, untuk apa di dunia ini, dan ke mana setelah ini" berikut jawabannya merupakan kunci bisa tidaknya tetap hidup abadi bersamaNya.

Merujuk pada normativitas Islam yang berbunyi inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Qs. Al-Baqarah 156), sesungguhnya kita – atau bahkan segala yang ada di jagad raya ini – berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya. Dari sini, kita sudah memperoleh dua jawaban yakni atas pertanyaan "dari mana kita berasal dan ke mana setelah di dunia ini". Dan jawabsn atas pertanyaan untuk apa kita di dunia ini, Allah berfirman.


Dalam konteks alamiyah kedirian kita sebagai makhluk ciptaanNya pada umumnya melalui siklus lahir, lalu anak kanak, terus remaja, kemudian dewasa dan tua, maka sesudahnya dipastikan ajal akan menyapa. Kelak setelah meninggal dunia, ada pertanyaan penting yang mesti kita renungkan saat kita masih di dunia ini yaitu siapa yang di antara kita yang bisa menjamin bahwa ruh diri kita akan kembali bertemu (atau bahkan bersatu) dengan Allah Ta’ala di surgaNya? seperti tertera pada idealitas cita-cita.

Dari iman Islam, kita diberitahu bahwa Allah adalah Zat yang Maha Suci dan surgaNya pun sebagai balasan kediaman bagi ruh orang-orang suci. Oleh karenanya tentu hanya orang-orang yang ruh dan hatinya suci saat hidup di dunia ini saja yang kemudian nantinya layak kembali menuju dan bersatu kepadaNya di surga. Bila ini terjadi maka baru sinkron dengan idealitas tadi.
Karena ketika hidup di dunia, hati dikotori dengan ragam dosa akibat kelalaian, kebodohan, ketidakpedulian, kezaliman dan keingkaran diri terhadap ajaran Ilahi, maka sebaliknya yang akan terjadi. Memang, pasti mati dan kembali, hanya saja karena ruh dan hatinya kotor, maka dikawatirkan tidak bisa segera – atau bahkan tidak sama sekali – bertemu dengan Ilahi.

Kini kita hidup di dunia ini saatnya memastikan hati tetap suci, kalaupun terlumuri jangan tunggu esok hari untuk segera kembali bertaubat, memeluk ridha Ilahi. Dengan ini diharapkan, setelah tidak hidup di dunia lagi ruh kita akan kembali ke haribaan Ilahi yang maha suci.

Karena Allah adalah zat yang maha hidup, berarti ketika nantinya bisa bersama Ilahi, maka hidup kita menjadi abadi. Apalagi di antara asmaul husnaNya Allah adalah al-Hayyun.  Allah berfirman yang maknanya, adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya)” (Qs. al-Baqarah: 255). Demikian juga dalam firmanNya yang lain, Alif Laam Miim, Allah adalah sesembahan yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Dia Yang Maha Hidup Hidup lagi terus menerus mengurus (makhluk Nya)” (Qs. Ali Imran: 1-2). “Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada Tuhan Yang Maha Hidup lagi senantiasa mengurus (makhluk Nya)” (Qs. Thaha 111). 

Jadi agar benar-benar kembali kepada Allah zat yang maha hidup,  maka selagi hidup di dunia kita mesti mengikuti syariatNya, mengabdi kepadaNya. Allah memegaskan dalam al-Qur'an yang artinya Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(Qs. Al-Dzariyat 56).

Maha benar Allah dengan segala firmanNya.