Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hidup itu Malu


Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 30 Rabiul  Akhir 1443

Hidup itu Malu
Saudaraku, hidup dalam bahasa Arab disebut al-hayah dan sangat dekat dengan al-haya' yang bermakna malu. Hal ini bisa dipahmi karena salah satu karakteristik hidup adalah punya rasa malu.  Karena sifat malu ini, manusia benar-benar hidup. Inilah yang menjadi latar muhasabah hari ini sehingga diberi judul hidup itu malu. 

Malu menjadi pakaian kehidupan. Rasulullah saw bersabda “Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak dinul Islam adalah malu.” (HR Ibnu Majah No. 4181)

Riwayat ini menegaskan betapa rasa malu menjadi akhlak penanda keislaman seseorang. Bahkan dijelaskan dalam buku Ensiklopedi Akhlak Rasulullah Jilid 2 oleh Syekh Muhammad Al-Mishri, bahwa Ibnul Qayyim mengatakan kata al-haya’u berarti malu sejatinya diambil dari kata al-hayah, yakni kehidupan. Sejauh mana hati seorang hamba itu hidup, maka sejauh itu pula kekuatan rasa malu menghiasi hatinya. Sebaliknya, kurangnya rasa malu merupakan tanda-tanda matinya hati dan ruh, sehingga perilakunya sesat menyesatkan.

Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri ra ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’” (Hr. Al-Bukhâri No. 3483, 3484, 6120)

Oleh karenanya rasa malu harus menghiasi hati agar lebih hidup Setiap kali hati menjadi lebih hidup, di saat itu pula rasa malu akan menjadi lebih sempurna.Ya benar, oleh karena itu kita akan memaknai rasa malu pada tema-tema hidup dalam muhasabah sebulan Rabiul Akhir ini.

Pertama dan utama, kita yang masih dianugrahi hidup di dunia ini malu rasanya bila tidak hidup secara lillah, merasa milik Allah, karena Allah, di jalanNya Allah dan untuk menggapai ridha Allah (seperti telah diingatkan dalam muhasabah ke-1 bulan ini). Malu bila hidup di sini di dunia ini tidak mengabdi pada Ilahi, malu tidak shalat dan malu tidak beribadah kepada Allah (muhasabah ke-2), dan malu bila tidak mengelola bumi serta memakmurkan (muhasabah ke-3). 

Dan karena hidup merupakan ujian, maka malu rasanya bila kita tidak lulus atau bahkan lari daripadaNya (muhasabah ke-4). Artinya malu bila tidak bersungguh-sungguh menghadapinya. Mengapa? Karena hidup itu perjuangan sampai benar-benar terasa kemenangannya (muhasabah ke-5).

Di samping itu, mesti merasa malu bila hidup di dunia ini tidak memberi kenanfaatan apa-apa bagi kehidupan, persis seperti lampu mati yang tidak bercahaya sama sekali atau tidak murup (muhasabah ke-6). Mengapa tidak bermanfaat atau memberi kemanfaatan? Karena srlama hidupnya tidak memilih jalan takwa (muhasabah ke-7), dan tidak bergerak ke arah yang benar seperti yang digariskan oleh Allah (muhasabah ke-8).

Oleh karenanya, selagi masih dikaruniai hidup di dunia ini mestinya kita dapat meraih makna. Malu bila hidupnya stagnan tidak bergerak secara dinamis dalam kebaikan (muhasabah ke-9),  malu bila tidak berperilaku dan hidup secara indah (muhasabah ke-10), malu bila tidak belajar menjadi lebih baik (muhasabah ke-11), malu bila tidak bersyukur kepada Allah (muhasabah ke-12), malu bila tidak memberi manfaat (muhasabah ke-13), malu bila tidak fokus meraih ridha Allah (muhasabah ke-14), dan malu bila tidak bisa meraih kebahagiaan secara seimbang  (muhasabah ke-15). 

Karena hidup itu nyata (muhasabah ke-16), maka ia sangat berharga, sehingga malu bila menyia-nyiakan hidup (muhasabah ke-17), malu bila tidak menanam biji-biji kebaikan (muhasabah  ke-18), malu tidak meraih berkah (muhasabah ke-19), malu bila tidak menjadikannya sebagai energi positif bagi kebahagian diri dan sesamanya (muhasabah ke-20), malu bila kebermanfaatannya tidak dapat dirasakan selamanya olleh antar generasi (muhasabah ke-21). 

Meskipun demikian karena kita tidak bisa mengetahui secara pasti apa yang akan terjadi dalam hidup iniedok hari, maka ia tetap misteri menjadi teka-teki (muhasabah ke-22). Oleh karenanya kita mesti bergantung dan berserah diri pada Allah. Apapun kebaikan dalam hidup di dunia, jita jadikan sebagai  kurikulum  yang senantiasa diwarisi dan diwariskan oleh antar generasi (muhasabah ke-23). Ia tak ubahnya laksana buku yang amat penting dibaca dan diapresiasi (muhasabah ke-24), sekaligus sebagai guru (muhasabah ke-25). Oleh karena, malu radanya bila masih hidup di dunia ini tidak bercermin diri pada kehidupannya sendiri (muhasabah ke-26). 

Padahal sudah sering diingatkan tentang titah Tuhan bahwa hidup harus seperti air mengalir (muhasabah ke- 27) mengikuti aturan Ilahi, sehingga dapat menyejarah (muhasabah ke-28) dan memperoleh kebahagiaan hidup abadi di surga jannatu na'im (muhasabah ke-29). Inilah perwujudan rasa malu (muhasabah ke-30) yang menjadikan hidup lebih hidup.

Kini, malu juga rasanya pada Allah yang sudah mengilhami ayam untuk bangun berkokok di setiap 1/3 malam terakhir, sementara kita masih mimpi nyenyak di pembaringan. Maka sekarang mari segera bangun tidur untuk menjemput karuniaNya, guna menyucikan hati kita, mengasah akal budi kita, menyehatkan fisik kita. Pastikan segera ambil air sembahyang; mengenakan pakaian indah yang kita miliki untuk "sowan" menghadap pada Allah melalui shalat malam, dzikir, tilawah Qur'an,  bermunajat kepada Allah memohon ampunan dan berharap agar Allah memberi hidayah dan kekuatan kepada kita sehingga dapat hidup secara layak bermartabat di dunia ini, dan meraih kebahagian surga nan abadi. Aamiin ya Rabb