Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Malu ber-Aji Mumpung

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 19 Jumadil Awal 1443 

Malu Ber Aji Mumpung
Saudaraku, dalam menjalani hidup ini ada sifat dan sikap yang kontra produktif dengan akhlaq al-karimah yang mesti diwaspadai, syukur-syukur segera ditaubati bila masih terpapar virus ini. Di antaranya memiliki sifat dan sikap serakah bin tamak. Ya, sifat ini ketika masih melekat di hati membuat hati sakit bahkan bisa sekarat, sedangkan sikapnya berarti sudah mewujud dalam pekerti hari-hari, di antaranya bisa bersikap aji mumpung.
 
"Aji mumpung" itu bermakna "selagi ada kesempatan, kapan lagi?" Sejatinya prasa ini bisa dimaknai positif, ya tentu .. bagi orang-orang yang baik hatinya, bersih dari tamak, tidak pendendam dan jauh dari ku'eh, yakni "selagi ada kesempatan, maka kita gunakan sebaik-baiknya untuk berbuat baik dan kebaikan sehingga dapat mendulang pahala sebanyak-banyaknya. 

Misalnya, selagi masih dianugrahi hidup, maka kita gunakan untuk mengumpulkan bekal masa depan, baik untuk hidup bahagia di dunia ini maupun hidup bahagia di akhirat nanti. Karena tidak sedikit orang-orang di sekitar kita yang sudah berangkat ke hariban Allah ta'ala satu persatu, bahkan ada yang bersama-sama pula. Bukankah kita sangat majbur, dalam hal ini?

Selagi badan dan kondisi diri masih sehat wal afiat, kita maksimalkan pengabdian kepada Allah (bersyahadat dan banyak berzikir, menegakkan shalat fardhu juga yang sunat, menunaikan puasa wajib dan juga yang sunat, zakat sedekah infak, haji dan umrah), pada negeri dan pada keluarga tercinta, karena kita tidak tahu nasib kesehatan dan diri kita esok lusa atau setelah hari ini. Bukankah kita sangat majbur, dalam ranah ini?

Selagi masih dianugrahi kelapangan, maka kita manfaatkan untuk banyak beribadah, belajar, beramal shalih, baca buku, baca tanda, baca alam, baca al-Qur'an juga untuk banyak beristighfar. Karena kita tidak tahu kesibukan apa yang akan dan harus kita jalani di masa yang akan datang.

Selagi masih muda, kita harus gunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk belajar, belajar dan belajar. Kita mestinya menyadari bahwa hari ini dan kesempatan muda kini tak akan berulang lagi. Ia, datang hanya sekali, yakni sebelum datangnya masa tua yang sudah menunggu sekejab lagi.

Selagi masih kaya dan dalam kondisi berada, maka kita tasyarufkan harta kita pada jalan Allah seperti memenuhi nafaqah keluarga, mendaftar haji/umrah, mengeluarkan zakat, memberi sedekah, berwakaf, menyediakan beasiswa, membantu membangun tempat ibadah dan sarana umum lainnya.

Selagi masih dipercaya untuk duduk di atas tahta, mengemban amanah publik apa saja, maka kita tunaikan amanah tersebut dengan baik sehingga seluruh masa dan aktivitas hari-harinya benar-benar menjadi ladang amal kita untuk mendulang pahala, kesempatan mendulang pahala sebanyak-banyaknya. Karena tidak semua orang bisa duduk dan atau didudukkan di posisi kita/ tuan puan hari ini, di samping esok lusa bisa jadi sudah harus turun dari kursi sehingga kesempatan tak leluasa lagi.

Nah, ilustrasi di atas "aji mumpung" atau selagi ada kesempatan di tangan orang-orang yang baik,  dimaknai baik. Namun demikian sudah kadung salah kaprah, sehingga aji mumpung (sengaja tidak diberi tanda dua tanda petik, karena maksud sebenarnya memang begitu) digunakan dan dikonotasikan negatif. Makanya dalam Kamus Politik, misalnya aji mumpung dimaksudkan sebagai upaya untuk memanfaatkan kesempatan demi meraih keuntungan pribadi. Aji mumpung biasanya merefleksi pasa sikapnya hari-hari dengan menyikut yang di kanan, menyikat yang di kiri, memengkal yang di belakang dan menendang atsu menjegal siapapun yang ada di depannya.

Maka seandainya ada sikap yang bisa menunjukkan keserakahan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya bagi kepentingannya sendiri dan kelompoknya, maka sikap itu disebut aji mumpung. Apalagi setan terus membisik-mbisiki "Ya ya mumpung punya kesempatan, mumpung ujung polpen dalam genggaman, mumpung menjabat suatu jabatan, mumpung menjadi anggota dewan, mumpung ini dan itu, mau kapan lagi bisa memperkaya diri, kapan lagi bisa sikat kiri, sikut kanan, njegal depan dan memengkal yang di belakang?  "Ayo terus, terus, terus lakukan sesuka perut sendiri jangan hiraukan orang, kesempatan ini jarang terjadi, momen ini tak terulang lagi!" Begitu rayu raya iblis laknatillah.

Begitu juga seorang "oknum dosen", misalnya.  Kalau oknum itu menggunakan aji mumpung untuk syahwatnya, wah bisa sangat bahaya dan membahayakan. Bukan saja merusak diri, tetapi juga antar generasi. Coba bayangkan! Mumpung lagi sk penasihat akademik atau pembimbingan TA di tangan, "seorang oknum dosen" bisa saja meminta mahasiswanya untuk datang ke tempatnya "berkedok" bimbingan, padahal tidak. Malah ditengarahi bisa melakukan pelecehan seksual di sini. Maka untuk menghindarinya saat bimbingan atau menemui dosennya yang lain jenis, mahasiswa harus  mengajak teman. 

Dengan demikian menghindari sikap aji mumpung merupakan bagian dari akhlaqul karimah sehingga amat diapresiasi. Semoga kita tidak ber aji mumpung. Aamiin