Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Malu Berlaku Sombong

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 14 Jumadil Awal 1443

Malu Berlaku Sombong
Saudaraku, dalam menjalani hidup ini ada sifat dan sikap yang kontra produktif dengan akhlaq al-karimah yang mesti diwaspadai, syukur-syukur segera ditaubati bila masih terpapar virus ini. Di antaranya sifat dan berlaku takabur alias sombong. Ya, sifat itu ketika masih melekat di hati sedangkan sikapnya berarti sudah mewujud dalam pekerti hari-hari.

Ya, sombong itu kondisi hati yang merefleksi pada laku hari-hari yang merasa lebih dan yang lain rendah. Allah mengingatkan peristiwa terusirnya iblis dari surga. “Dan (ingatlah), ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sungguh, Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.’ Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali ibllis. Ia enggan ikut bersama-sama para (malaikat) yang sujud itu.

Dia (Allah) berfirman, ‘Wahai Iblis! Apa sebabnya kamu (tidak mau) sujud bersama mereka?’ Ia (iblis) berkata, ‘Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk.’ Dia (Allah) berfirman, ‘(Kalau begitu) keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk, dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat.” (Qs. Al-Hijr 26-35)

Iblis diciptakan dari api dan manusia dicipta dari tanah, sehingga iblis merasa lebih baik daripada manusia, makanya tidak mau menghormati (sujud) kepada Adam. Dalam hal ini Iblis merasa lebih hebat dari manusia, sehingga meremehkannya.

Coba kita renungkan!, makhluk yang semula hidup di surga saja tapi karena kesombongannya dikeluarkan, diusir dari surga, terkutuk selama-lamanya dan endingnya neraka, makanya ketika masih di dunia ini, Nabi Muhammad saw mengingatkan kita melalui hadisnya. “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sebesar dzarrah dari kesombongan.” Salah seorang shahabat lantas bertanya: “Sesungguhnya seseorang senang jika bajunya bagus dan sandalnya baik?” Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Dzat yang Maha Indah dan senang dengan keindahan, sombong itu  menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR Musim)

Sikap sombong atau kesombongan bisa saja muncul karena keadaan diri, harta, tahta, keluarga, ilmu dan ibadahnya. Padahal semua ini hanya tempelan saja dan datangnya belakangan bahkan bisa jauh setelah dilahirkan. Pas lahir, ya merah dan bugil. Kapan cantik atau tampan, kapan kaya, kapan berkuasa, kapan berilmu dan kapan beribadah? ....tentu pada masa-masa berikutnya. Jadi semua asesoris (harta tahta dan keluarga atau lainnya) itu menempel dan ada setelahnya dan pasti akan tidak ada lagi alias pergi atau kita yang meninggalkannya. Nah apa yang kita sombongkan? Tapi ya tetap saja ada yang sombong.

Pertama, sombong karena keadaan diri. Ketika diri merasa keadaannya lebih gitu baik dalam kecantikan, ketampanan, dan maupun kesempurnaan dirinya atau kesehatan atau kelapangannya. Keadaan seperti ini tidak disyukurinya, justru sombong karenanya, sehingga merasa lebih hebat dan yang lain diremehkannya karena tidak ada apa-apanya.

Padahal seandainya benar kecantikan atau ketampanannya, maka bisa bertahan berapa lama? Bukankah hanya sekejab saja, tahu-tahu sudah tua renta. Lagian kalau hanya wajah saja, maka sejatinya ketampanan atau kecantikan itu hanya setipis kulit saja. Bila tak percaya, coba kuliti muka, apa jadinya? Malah ada yang lebih parah lagi, wajahnya sudah pas-pasan, postur tubuhnya juga tak seimbang, dan gaya jalannya juga tak karuan  dan yang ada juga biasa-biasa saja...eh masih bisa-bisanya berlaku sombong? Duuh, manusia, manusia.

Kedua, sombong karena harta. Harta berlimpah, rumah besar, kontrakannya menjanjikan, usahanya maju, tanah dan sawahnya luas,  kendaraannya mewah, perhiasannya berkilauan di sekujur tubuhnya dan kelebihan harta benda lainnya sering kali membuat lupa diri, sehingga tak mensyukuri. Malah acap kali membuat congkak di hati,  lalu suka menyombongkan diri dalam perilaku hari-hari. Ini merefleksi pada gaya jalannya, pakaian yang dikenakannya, cara ngomongnya dan laku hari-harinya. 

Ketiga, sombong karena tahta. Jabatan sejatinya amanah atau keoercayasn yang diberikan oleh orang lain pasa dirinya. Tetapi karena saat memperolehnya dilakukan dengan intrik-intrik politik yang penting dapat dengan cara apapun juga, maka seringkali membuat gelap mata. Aji mumpung menjadi senjata, mumpung lagi berkuasa, bisa berbuat apa saja.

Dan saking empuknya kursi yang didudukinya bisa lupa diri. Harusnya melayani "rakyat" yang diimpinnya...  eh malah minta dilayani. Idealnya rendah hati tapi malah tinggi hati. Harapannya bisa mengurus tapi malah menguras. Semua ini merefleksi dalam hari-hari yang dilalui selama kepemimpinannya.

Keempat, sombong karena keluarga. Dilahirkan dalam lingkungan keluarga yang kebetulan kaya dan bertahta bahkan darahnya biru dan trah ningrat berpotensi juga menjadikan anggotanya berlaku sombong. Di samping itu juga keluarganya besar, anggotanya banyak sehingga menjadi berpengaruh kuat.

Kelima, sombong karena ilmunya.
Penguasaan terhadap ilmu yang benar sejatinya hanya akan mengantarkan pemiliknya pada pengenalan diri dan Allah Rabbnya sehingga lebih dekat denganNya. Tetapi ranjau-ranjau penguasaan ilmu pengetahuan luas yang tidak didasari dengan hati yang lurus, maka bisa berpotensi melahirkan kesombongan bagi pemiliknya  

Keenam, sombong karena ibadahnya. Banyaknya amal ibadah mestinya merupakan refleksi dari kualitas imannta di hati, sehingga justru akan merasa tawadhuk bahwa semua ini hanya berkat karunia Ilahi yang harus disyukuri dengan istikamah. Tetapi tetap mesti berhati-hati, karena setan akan senantiasa lebih cerdas membisiki hati "sudahlah tuan puan?, nah kan tuan puan paling hebat ibadahnya, paling rajin shalat malamnya, paling rutin puasa sunatnya, paling banyak sedekahnya, paling alim di antara manusia... tidak ada yang melebihi tuan puan! Begitu di antara bisikan setan di hati agar kita merasa cukup. Lebih jauh agar kita menjadi bangga dan membanggakan diri, dan menganggap orang lain tidak ada apa-apanya. 

Karena sombong - begitu juga akhlak tercela lainnya - merupakan pakaian hati, maka seringkali merefleksi dari sikap sehari-hari tapi tak disadari. Kita berlindung pada Allah dari sifat dan sikap sombong dan menyombongkan diri. Aamiin