Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Malu pada Diri

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 26 Jumadil Awal 1443

Malu pada Diri
Saudaraku, Islam melarang dengan keras terhadap segala bentuk laku perbuatan yang mendhalimi orang lain dan perbuatan yang mendhalimi diri sendiri, termasuk menelantarkannya. Semua ini berakibat dosa dan siksa. Mengapa semua itu dilarang tegas? Iya, karena semua ini justru akan menjerumuskan diri pada neraka saja, membawa pada suasana yang menyengsarakan, dan mengakibatkan jatuh terjerembab pada lembah kehinaan. Oleh karenanya kita harus merasa malu bila masih melakukannya. 

Ya, benar, harus merasa malu. Makanya dalam hal ini malu dapat dipandang sebagai 3T yakni malu sebagai tuntutan, tuntunan dan tatanan kemuliaan seperti yang telah diingatkan dalam muhasabah ke-1 awal bulan Jumadil Awal ini. Sehingga karenanya bisa dimengerti bahwa memiliki malu merupakan bagian dari akhlak mulia (muhasabah ke-2). Namun harus segera diingatkan, rasa malu itu jangan sampai salah pasang (muhasabah ke-3). 

Kita harus merasa malu bila menjalani hidup di dunia ini masih berlaku salah melulu (muhasabah ke-4), malu ketika malas melulu  (muhasabah ke-5), malu berharap atau njagakake pada orang lain terus (muhasabah ke-5), malu tangannya di bawah selalu pada sesamanya (muhasabah ke-7), malu bersikap manja melulu  (muhasabah ke-8), malu bermuka dua alias terjangkiti sifat nifak (muhasabah ke-9), malu  berlaku tamak (muhasabah ke-10), malu masih hasad  (muhasabah ke-11), malu berlaku dhalim  (muhasabah ke-12), malu berlaku bodoh  (muhasabah ke-13), dan malu berlaku sombong  (muhasabah ke-14).

Di samping itu juga mesti malu bila memiliki kepribadian yang pecah atau split personality  (muhasabah ke-15), malu punya mulut tapi bocor tak bisa menyimpan rahasia laksana genthong umos (muhasabah ke-16), malu masih saja berlaku dusta mendustai (muhasabah ke-17), malu bila masih bersikap hedonic treadmill (muhasabah ke-18), malu menggunakan aji mumpung (muhasabah ke-19), malu sok hebat, sok berkuasa, sok pintar alias adigang adigung adiguna (muhasabah ke-20), malu terlalu ambisius akan suatu jabatan apalagi tenaganya kurang mendukung (muhasabah ke-21), malu berlaku rasis (muhasabah ke-22), malu bersikap intoleran (muhasabah ke-23), dan  malu berkubang dalam dosa (muhasabah ke-24).

Sudah begitu e..eh masih saja menunda-nunda taubat (muhasabah ke-25). Mestinya juga harus malu lah bila begini terus dalam menjalani hidup dalam kehidupan di dunia ini. Malu kepada siapa? Ya.. malu kepada diri sendiri. Mengapa harus malu pada diri sendiri? Iya, tentu, karena malu itu menjadi di antara pintu taubat, malu itu menjadi rem agar diri selamat dunia akhirat.

Lagian ketika kita melakukan muhasabah atau instrospeksi atau mawas diri, maka benar sejatinya hanya diri kita sendiri dan Allah saja yang mengetahui kesejatian track record, pengalaman hidup dan pengamalan hari-hari yang kita lalui. Ketika ternyata masih banyak kewajiban yang belum sempurna kita lakukan, masih sering mentasyarufkan yang subhat bercampur dengan yang halal, masih menabrak-nabrak hal-hal yang dilarang, masih saja lalai dan boros waktu sehingga hilang percuma, maka idealnya harus malu pada diri sendiri dan segera memohon ampunan seraya melakukan taubat nasuha. Kalau tidak sekarang, mau kapan lagi? Esok lusa belum tentu dalam jangkauan kita lagi.

Di samping itu, bukankah diri kita sudah membaca ayat-ayat tentang keharaman sifat dan sikap yang tidak baik tersebut? bukankah diri kita sudah mengetahui tentang akibat dan bahayanya? Apakah karena diri kita tahu bahwa Allah maha pengampun? Atau karena kita tahu caranya bertaubat? Sehingga dengan dalih ini, kita pun berketerusan dalam dosa. Kalau ini jawabannya, maka ketahuilah bahwa diri kita termasuk orang bodoh, bahkan orang paling bodoh. Demikian kata Ibnul Qayyim. "Orang yang paling bodoh adalah orang yang mengetahui Allah itu maha pengampun, lalu menjadikan alasan perkara itu untuk terus berbuat dosa". 

Allahu a'lam