Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Malu pada Guru

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 28 Jumadil Awal 1443

Malu pada Guru
Saudaraku, seandainya kita masih saja terjebak melakukan dosa dan atau masih saja menunda-nunda taubat atas kealpaan selama ini, di samping harus malu pada diri sendiri dan keluarga, mestinya juga malu pada para guru, malu pada orang-orang yang telah mengasuh-mendidik kita; malu pada orangtua, malu pada guru juga tengku, dan malu pada dosen.

Mengapa kita harus malu pada para guru? Iya, karena melalui jasa-jasa merekalah kita melek literasi, tahu tulis baca dan mampu mengomunikasikannya. Karena melalui kepengasuhannya kita menjadi orang-orang yang tumbuh berkembang bisa eksis bahkan bisa menyongsong masa depan. Karena melalui sentuhan tangan lembut dan kasih sayangnya, kita berhasil menjadi orang-orang yang berbudi berakhlaq al-karimah. Karena melalui keikhlasan mereka dalam mendidik, menjadikan kita orang-orang yang bertakwa. Benar, bukan?

Nah, rasanya tidak ada orangtua yang menyuruh kita anak-anaknya berbuat jahat atau membuat dosa dan atau mengabaikan ajaran agama. Lalu mengapa kita melakukannya? Berarti kita menyalahi kepercayaan mereka atas kita. Di sini dan seperti ini, setidaknya kita mesti merasa malu pada orangtua kita.

Rasanya tidak ada seorang pun guru yang membiarkan kita anak-anak didiknya dalam kebodohan. Karena dengan kebodohan seseorang  berbuat dosa dan tak jera-jera. Lalu kita yang katanya "orang sekolahan" mengapa masih saja melakukan perbuatan dosa dan tidak segera bertaubat karenanya? Berarti kita menyalahi ketulusan usaha mereka atas kita. Di sinilah, setidaknya kita harus punya rasa malu pada guru.

Rasanya tidak ada seorang pun dosen yang menyuruh kita mahasiswanya untuk  berbuat jahat, melakukan plagiasi, coba-coba korupsi, memanipulasi data dan mengabaikan ajaran agama. Lalu mengapa kita yang katanya "orang terpelajar" melakukannya? Berarti kita mengangkangi pengorbanan mereka atas kita. Di sinilah, setidaknya kita mesti merasa malu pada dosen kita.

Iya, benar para guru yang mendidik kita, kini bisa saja sebagian atau seluruhnya telah berpulang ke rahmatullah sehingga mereka tidak mengetahui hal ikhwal diri dan perbuatan kita. Namun di mana letak amanah pendidikan yang kini harusnya terpundak pada kita? Di mana peran, tanggungjawab dan keteladanan yang kini harusnya kita emban? Di mana letak wasilah keberkahan ilmu yang mereka wariskan atas kita? Ke mana semua ini? Di mana harus mencari?

Kalau pada suatu saat kelak kita bertemu dengan mereka atau sengaja ditemui oleh mereka, baik di dunia ini maupun ketika sudah di akhirat nanti, lalu di mana mau menaruh muka kita? Apa tersedia jawabannya? Mau lari, akan menghindar? ...Oo makanya, makanya di mana-mana, ke mana saja dikejar-kejar oleh bayang-bayang dosa, sehingga dunia ini atau kuburannya kelak menjadi sempit karena dosa. Na'udzubillahi min dzalika!

Sudahlah, mumpung masih dianugrahi hidup, maka STOP berbuat dosa sekarang juga, dan kini mari memulai menjemput ampunan Allah yang tersedia melimpah ruah. Inilah saatnya bertaubat. Mari tinggalkan segala praktik dan laku yang membawa pada dosa, seperti kita meninggalkan tahun 2021 yang tak pernah akan datang lagi. Di awal tahun 2022 ini kita berazam untuk istikamah dalam ketaatan pada Allah sampai akhir hayat di dunia ini. Di akhirat menuai kebahagiaan yang abadi.

Mari mulai menghidupkan sepertiga akhir setiap malam dengan ibadah, segera bangun tidur untuk istikamah dalam ketaatan pada Allah, menjemput keridhaanNya, guna menyucikan hati kita, mengasah akal budi kita, menyehatkan fisik kita. Pastikan segera ambil air sembahyang; mengenakan pakaian indah yang kita miliki untuk "sowan" menghadap pada Allah melalui shalat malam, dzikir, tilawah Qur'an,  bermunajat kepada Allah memohon ampunan dan berharap agar Allah memberi hidayah dan kekuatan kepada kita sehingga dapat hidup secara layak bermartabat di dunia ini, dan meraih kebahagian surga nan abadi. Aamiin ya Rabb.