Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Malu Sebagai 3T

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 1 Jumadil Awal 1443

Malu sebagai 3T
Saudaraku, sebagaimana diingatkan dalam muhasabah yang baru lalu bahwa di antara karakteristik hidup seorang mukmin adalah memiliki rasa malu. Ya, malu sebagai kekuatan yang menghiasi hati untuk tidak membiarkan sesuatu yang rendah terjadi dan tidak melakukan segala yang berpotensi mendatangkan ketidaksukaan Allah atasnya. Oleh karenanya malu akan menjadi tema muhasabah bulan ini. Mengawali muhasabah bulan ini ijinkan loen tuan mengulangkaji tentang malu dilihat dari 3T, tuntutan, tuntunan dan tatanan.

Sebagai tuntutan, malu dapat langsung dirujuk pada normativitas Islam. Di antaranya Rasulullah bersabda: Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.” (Shahîh: HR.al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abû Dâwud (no. 4676), an-Nasâ-i (VIII/110) dan Ibnu Mâjah (no. 57), dari Shahabat Abû Hurairah. Lihat Shahîhul Jâmi’ al-Shaghîr (no. 2800).

Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan, Rasulullah saw. bersabda pada suatu hari, “Malulah kalian terhadap Allah ta’ala dengan sebenar-benarnya malu!” Mereka (para sahabat) berkata, “Sungguh kami telah memiliki rasa malu, wahai Nabi. Alhamdulillah.” Nabi lalu menyatakan, “Tidak, kalian belum merasa malu. Orang yang betul-betul merasa malu di hadapan Allah hendaknya menjaga kepala dan isinya (pikiran), menjaga perut dan isinya (makanan) dan hendaklah mengingat mati dan kebinasaan. Siapa yang menginginkan kebahagiaan akhirat, hendaklah meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang sudah melakukan itu semua, berarti dia sudah betul-betul mempunyai rasa malu.” (HR. Ahmad, At Turmudzi, Al Hakim, Abu Ya’la, dan Al Bazzar).

Berdasarkan normativitas di atas, disadari bahwa Islam menghendaki umatnya untuk menjaga kepala dan isinya (pikiran). Di kepala terdapat mata, mulut, hidung, telinga dan akal pikiran di dalamnya. Berarti kita harus menjaga panca indera dan pikiran dari segala yang diharamkan Allah dan dari segala yang mendatangkan kebencian atasnya. Malu rasanya punya mata bila digunakan untuk memata-matai (kekurangan) orang lain lupa melihat kelurangan diri sendiri. Malu rasanya punya mulut (baca lisan) bila digunakan untuk berujar kebencian yang jangankan orang lain, dirinya sendiripun sakit ketika mendengarnya. Malu rasanya punya telinga bila digunakan untuk nguping segala pembicaraan yang lagha apalagi yang tak pantas. Malu rasanya punya potensi berpikir, namun ditelantarkan tidak digunakan untuk memikirkan ciptaan Allah.

 Dan Islam juga menghendaki umatnya untuk menjaga perut dan isinya (makanan). Syahwat perut ini seringkali menggelincirkan karena dengannya menuntut pemenuhan yang bisa-bisa melahirkan rasa rakus yang luar biasa. Bukannya yang halal thayiban yang dikonsumsinya, tetapi juga yang subhat, bahkan yang haram; termasuk memakan dana umat, dana nasabah, dana proyek, dana bos, aspal curah. Mestinya kita malu akan semua ini.

Malu sebagai tuntunan kemuliaan. Dslam hal ini di antaranya Rasulullah saw bersabda, “Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” (Muttafaq ‘alaihi). Dan dalam riwayat Muslim disebutkan, “Malu itu kebaikan seluruhnya.” (Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37/60), 

Malu sebagai tatanan karena ia sudah melembaga dalan perilaku keseharian masyarakat muslim. Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri ra ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’” (Hr. Al-Bukhâri No. 3483, 3484, 6120).

Semoga kita mampu menghiasi hati kita dengan perasaan malu, malu berperilaku membiarkan sesuatu yang rendah terjadi dan malu dengan tidak melakukan segala yang berpotensi mendatangkan ketidaksukaan Ilahi atas diri ini. Aamiin