Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Malu "Njagakake" Terus

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 6 Jumadil Awal 1443

Malu "Njagakake" Terus
Saudaraku, dalam menjalani hidup ini ada saja sikap yang kontra produktif dengan akhlaq al-karimah yang mesti diwaspadai, syukur-syukur segera ditaubati. Di antaranya sikap "njagakake" atau "mengharap". Biasanya sikap njagakake ini dilatari oleh sifat malas atau ogah-ogahan seperti yang telah diingatkan dalam muhasabah sebelumnya. Lihatlah gambar di atas, berharap atau njagakake telurnya si ayam blorok; berharap hasilnya dari kerja orang lain, padahal si ayam belum tentu bertelur; padahal hasil kerja dari orang lain belum tentu adanya.

Ya, njagakake merupakan sikap berharap pada orang lain untuk memenuhi atau mengerjakan atau menyelesaikan sesuatu yang seharusnya juga menjadi tanggungjawab dirinya. 

Dalam kehidupan rumah tangga, misalnya, hari-hari kita membiarkan lantai kotor, kamar mandi jorok, piring-piring kotor bertumpuk, pakaian berhambur di lantai, halaman yang kotor sampah beserakan, rumput ilalang menjuntai dan lingkungan kumuh. Mengapa semua ini terjadi? Di antaranya karena sikap saling berharap atau njagakake tadi. Bukankah ada pembantu? Bukankah ada si abang atau bukankah ada si adik yang biasa peduli. Nah sikap "njagakake" seperti ini bisa saja terjadi. Padahal seberapalah beratnya bila kita mengerjakan atau menyelesaikan satu per satu, apalagi bisa berbagi job discription nya sehingga siapa mengerjakan apa menjadi jelas dan sama-sama ringan, tidak saling berharap satu dengan lainnya.

Di dalam hidup bermasyarakat, misalnya, kita membiarkan kemaksiatan terjadi, kita diam saja dengan alasan tokh bukan urusan kita, tokh bukan anak kita, dan tokh bukan siapa-siapa kita. Kita berharap perangkat desa yang akan meluruskannya, kita njagakake ustad yang akan mendakwahinya atau kita berharap pada pihak berwajib yang akan menghentikannya. Padahal semua itu juga menjadi tanggungjawab kita bersama. Apa salahnya kita berusaha memperbaikinya, syukur-syukur bisa dengan kekuasaan yang ada di tangan kita, atau dengan lisan dan terakhir dengan hati kita.

Karena biasanya dilatari oleh sifat malas atau bermanja, maka sikap njagakake sering membuat orang "tuman" atau ketagihan karena keenakan dengan berpangu tangan saja tapi maksud dan keinginannya tercapai jua. Tentu semua ini merupakan akhlak tak terpuji sehingga harus dijauhi.

Coba bayangkan! Berharap pada orang lain yang akan shalat jenazah; Berharap pada orang lain yang akan memperbaiki jalan berlubang atau menyingkirkan duri dari jalan; Berharap pada teman mahasiswa lain yang akan menghapus papan tulis; Berharap pada orang lain yang akan membatu sipapa; Berharap pada orang lain yang akan donor darah; Berharap pada orang lain yang akan menyelesaikan ini dan itu. Lalu ngapain aja diri kita? Hanya njagakake melulu, hanya berharap melulu? Apa tidak malu? Apa tidak malu-maluin?

Saat menghadiri pesta walimatu 'urusy sering muncul sikap njagakake, berharap para tamu membawa amplop berisi beberapa lembar uang kertas bergambar orang berpeci dengan senyum tersungging, sehingga kita bisa membawa dan memasukkan amplop yang berisi uang bergambar orang-oramg cemberut dengan pedang di depan dadanya. Apalagi amplopnya tidak ditulisi nama diri. Kita berharap amplop kita bisa bersembunyi di antara amplop-amplop lain yang penuh terisi. Bayangkan, ketika alam pikiran kita juga menjangkiti seluruh alam pikiran tamu undangan!  Tokh hanya saya sendiri! Hayoo, apa jadinya. Di sini hanya kesadaran dan keikhlasan yang bicara.

Ini persis seperti kisah sesendok madu. Kisah modifikatif yang adobsi dari bukunya Prof. Dr. Quraish Shihab.
Dikisahkan pada suatu saat dahulu ada putri seorang raja yang sakit. Menurut tabib yang diundang, obatnya adalah madu. Maka Sang Raja mengeluarkan titah kepada rakyatnya untuk membawa sesendok madu pada malam dan tempat yang telah ditentukan. Karena malam hari, ada warganya yang berpikir untuk membawa sesendok air, dia bergumam dalam hati ''gelapnya malam akan menutupi dari pandangan seseorang, maka sesendok air tidak akan mempengaruhi madu yang telah terkumpu nantinya. Orang lain bukankah akan membawa madu, biarlah saya membawa sesendok air saja''. Rupanya pikiran seperti ini menjangkiti semua warga kerajaan. Coba bayangkan apa jadinya? wal hasil terkumpullah air, bukan madu.

Kisah simbolik ini bisa kita perluas ke apa saja, ternasuk tuntutan semua kita dalam kesibukan yang bermakna. Misalnya dalam sebuah kepanitiaan (misalnya panitia akreditasi, wisuda, penyusunan RIP, renstra, renop) apalagi melibatkan banyak orang, kita bisa membayangkan kalau ada pikiran ''bukankah ada sifulan atau fulin orang lain yang bekerja, biarlah saya numpang nama saja''. Bayangkan saja kalau semua personel punya pikiran yang sama alias numpang nama, saling mengharap orang lain yang bekerja. Apa jadinya?

Mengambil ibrah kisah sesendok madu tadi, harusnya masing-masing diri kita memulai dari diri sendiri dan berkomitmen bahwa ''saya harus menjadi yang pelopor dalam bekerja dan menyukseskan acara''. Bila semua memiliki komitmen seperti ini, maka berbahagialah hasilnya.

Untuk hal di atas masing-masing pribadi kita diingatkan oleh Allah; Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat orang-orang mukmin untuk berjuang. (Qs. Al-Nisa' 84)

Jadi betapa pentingnya menumbuhkan komitmen dari diri sendiri untuk selalu menjadi pelopir kebaikan, yang perdana berkontribusi positif terhadap suatu cita cinta bersama. Ikhlaskan dalam karya dan amal, niscaya tidak akan percuma, bahagia pasti kan lebih dirasa.

Dalam hal kebaikan, kalau tidak sekarang kita kerjakan, lalu mau kapan lagi? tokh kesempatan belum tentu akan datang dua kali. Kalau tidak mulai dari diri sendiri, kepada siapa lagi kita berharap, tokh masing-masing pribadi akan menjadi dirinya sendiri.

Rasulullah Nabi Muhammad saw mengingatkan melalui sabda mulianya, tidaklah akan istikamah iman seorang hamba sampai istikamah hatinya, dan tidak akan istiqamah hatinya sampai istiqamah lisannya (H.R Ahmad).

Dan tidak akan istikamah lisannya sampai istikamah perbuatannya. Allah berfirman, wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan (Qs. Al-Shaff 2 - 3).

Maha benar Allah drngan segala firmanNya