Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keberkahan Harta


Sri Suyanta Harsa 
Muhasabah 6 Jumadil Akhir 1443 

Keberkahan Harta
Saudaraku, adalah sunnatullah bahwa setiap manusia menyukai harta benda. Di sinilah harta benda itu kemudian menjadi relatif  amat mempesona bagi manusia. Bahkan tidak jarang yang kemudian berpotensi silau menyilaukan karenanya. 

Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa harta adalah barang (termasuk uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan dan milik seseorang atau kelompok; kekayaan berwujud maupun tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum dimiliki. Secara praktis harta mewujud dalam seluruh aset kehidupan manusia, seperti perhiasan emas berlian, perak permata atau lainnya, sandang, pangan, lapan, ruko, rumah sewa, kendaraan, hewan piaraan, sawah ladang, uang, tabungan, deposito, saham, hak cipta, royalti, buku dan seterusnya.

Dalam normativitas Islam, dinyatakan bahwa Allah memang menghadirkan rasa senang pada setiap manusia terhadap harta, dalam segala rupa dan bentuknya. Allah berfirman yang artinya “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia, kecintaan terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik” .(Qs. Ali Imran: 14).

Bila diperhatikan sepintas lalu saja, maka sudah terlihat nyata bahwa kesenangan manusia terhadap harta benda, benar-benar tidak bisa disembunyikan dalam setiap perilakunya, meskipun sejatinya mengetahui bahwa saat lahir dulu maupun meninggal nanti harta itu tidak dibawa serta. Makanya di ujung ayat tersebut di atas, kita diwanti-wanti bahwa (keridhaan) di sisi Allah merupakan muara kebaikan atas semua karunia (termasuk harta) yang ada pada manusia.  Jadi kita tenti diizinkan untuk terus mencari, mendapatkan dan berbanyak harta, namun yang penting semua itu untuk menggapai keridhaan Allah ta'als. Tentu, di sini kehalalan cara mengupayakan harta, zatnya dan menggunakannya menjadi niscaya. Semoga tidak ada ungkapan "jangankan yang halal, yang harampun susah didapatkan".

Karena penting, maka secara tersirat, sejatinya Islam menyukai umatnya menjadi kaya raya, sehingga dengan kekayaan harta benda mampu memaksimalkan pengabdian kepada Allah Rabbuna. Dengan hartanya bisa memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan yang layak dan bermartabat, dapat menunaikan rukun Islam dengan sempurna, menunaikan haji dan umrah, mengeluarkan zakat sedekah infak dan wakaf, menyantuni sesamanya, menyediakan beasiswa, membangun sarana prasarana yang memadahi dan seterusnya. Inilah, saking cinta kepada hambaNya, sehingga Allah menegaskan bahwa Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?”

Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Rabb mereka ada Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS. Ali Imran 15) yang dengan harta kekayaannya saat di dunia mampu memaksimalkan pengabdiannya.

Mencermati ilustrasi di atas, maka keberkahan harta terletak pada kehalalan saat mengupayakannya, kehalalan harta itu sendiri dan kehalalan menggunakannya, sehingga memengaruhi dan mengantarkan siempunya dalam memaksimalkan pengabdian dirinya pada Allah ta'ala. Jadi harta mesti dibelanjakan pada Allah saja. Bukan sebaliknya ya, dengan harta justru membuat siempunya sibuk mengkidmatinya sehingga lupa pada Rabb yang mengaruniainya. Kisah tragis terjerembabnya Qarun (isme) atau Tsaklabah (isme) harusnya sudah lebih dari cukup memberi pelajaran berharga bagi kita agar berhati-hati menyikapi hal ikhwal harta.

Karena untuk memaksimalkan pengabdiannya pada Rabbnya, maka kepemikikan harta akan merefleksi pada ketakwaan diri terindikasi pada perilaku hari-hari. Shalat lima kali sehari semalam istikamah dilakukan dengan indah termasuk penampilannya (mengenakan pakaian yang suci nan bagus, masjidnya megah juga indah, kendaraan yang ditunggangi saat pulang pergi ke masjid memadahi), bahkan dengan berjamaah, bahkan juga shalat-shalat sunah dilakukan untuk memperindah pilar Islamnya, puasa bukan saja yang wajib tetapi juga yang sunah, berzakat dan berbagi pada sesama, menjalani hari-harinya dengan senantiasa dalam ketaatan pada Allah semata.

Demikian juga, selalu mengawali dan atau mengakhiri segala aktivitas dengan memanjatkan doa, lisan senantiasa basah dengan dzikir sebisanya, pikirannya hanya sibuk bermuhasabah diri sehingga tidak ada waktu untuk mencari kesalahan sesamanya, hati terus bertambah-tambah syukur kepada Allah Rabbuna. Karenanya juga bersikap qanaah, merasa cukup dengan banyaknya karunia Allah yang sudah dinikmatinya, sehingga hidupnya tidak nggrangsang, tidak loba, tidak rakus pada harta. Semoga