Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keberkahan Hidup

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 1 Jumadil Akhir 1443

Keberkahan Hidup
Saudaraku, sebagaimana diingatkan dalam muhasabah selama bulan Jumadil Awal kemarin bahwa di antara karakteristik hidup seorang mukmin adalah memiliki rasa malu. Ya, kita mestinya memiliki rasa malu pada diri, pasangan dan anak, para guru, Nabi dan malu pada Allah ta'ala. Malu sebagai kekuatan yang menghiasi hati untuk tidak membiarkan sesuatu yang rendah terjadi dan tidak melakukan segala yang berpotensi mendatangkan ketidaksukaan Allah atasnya.  Ketika malu dapat dikukuhkan dalam kehidupan sehari-hari, maka kesejatian hidup telah diraih, sehingga keberkahannya bisa dirasa. Oleh karenanya tema muhasabah bulan ini adalah mengulangkaji tentang keberkahan.

Keberkahan berasal dari kata berkat, berkah atau barakah yang berarti bertambahnya kebaikan (ziyadat al-khair). Makanya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berkah dimaknai sebagai karunia Allah yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia. Kebaikan akan mengantarkan pada surga (baca kebahagiaan).

Bagaimana keberkahan hidup itu menjadi efektif? Ya, tentu bukankah sedari lahir ke dunia ini hingga kini bahkan sampai akhir hayat kelak kita dalam kebaikan yang bertambah-tambah?. Inilah keberkahan hidup. Mengapa ini bisa kita jalani? Ya,  karena kita senantiasa istikamah dalam Iman, Islam dan beramal shalih dengan tetap saling berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran. 

Dalam praktik keberislaman, lazimnya ketika dilahirkan, kita diazankan atau diiqamatkan atau dibacakan doa-doa oleh keluarga, makanya saat menjalani hidup ini kita tetap istikamah dalam ketauihdan dan menaati syariat yang diturunkan oleh Allah ta'ala atas manusia. Dan, insyaallah suatu saat kelak ketika meninggal dunia kitapun dishalatkan oleh keluarga juga sesama. Artinya, hidup di dunia ini hanya dalam kebaikan dan kebaikan; antara azan dan iqamat untuk shalat saja.

Ketika dilahirkan, kita disambut lalu dibedong atau dibalut dengan kain popok dan kini saat menjalani hidup ini kita berhati baik, bertutur baik dan berlaku baik kepada siapapun. Dan insyaallah suatu saat kelak ketika meninggal dunia juga akan diikhlaskan oleh keluarga dan sesama lalu dibedong atau dibalut dengan kain kafan dishalatkan dan dikebumikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hidup di dunia ini hanya di antara kebaikan dan kebaikan; antara saat dipopoki dan dikafani saja.

Ketika lahir, kita disambut dengan gembira tawa bahagia oleh orang-orang di sekitar kita, dan kini saat menjalani hidup ini kitapun berusaha bahagia dan menebar kemaslahatan sehingga kesenangan dan kebagiasn bisa dirasa bersama-sama. Dan insyaallah suatu saat kelak ketika meninggal dunia kitapun diantar ke kubur dengan sedih dan tangisan keluarga juga sesamanya. Jadi hidup ini hanya dalam kebaikan yang satu ke kebaikan betikutnya; harus membahagiakan dan meninggalkan makna.

Ketika hidup, lazimnya kita menegakkan shalat di belakang imam, dan insyaallah suatu saat nanti ketika meninggal dunia, kita pun juga akan dishalatkan dengan cara ditempatkan di depan imam. Dengan demikian hidup adalah hanya dalam kebaikan dan kebaikan lainnya; untuk mengabdi pada ilahi Rabbiy saja. Maka pastikan shalat sebelum dishalatkan. Sering-seringlah shalat di belakang imam, sebelum ditempatkan di depannya untuk dishalatkan.

Itulah, idealitas hidup yang mestinya kita kukuhkan dalam keseharian, sehingga hidup kita memperoleh keberkahan seperti hidupnya Rasulullah saw dan para shalafus shalih.

Untuk itu kita juga sering dingatkan oleh para ahli dan para bijak bahwa hidup adalah kata yang harus dibuktikan dengan kebaikan, waktu yang tersedia tak boleh dilalaikan, dan proses berislam yang harus dinikmati. Tak boleh ada kata takut, menyerah, apalagi berhenti dalam menemukan yang terbaik. Satu-satunya yang bisa menghentikan hidup di dunia ini adalah ketika Allah berkata "saatnya kembali". Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Allahu a'lam