Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keberkahan Ilmu

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 3 Jumadil Akhir 1443

Keberkahan Ilmu 
Saudaraku, benar memang kita dan semua manusia saat dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, tetapi dengan kemahamurahanNya Allah membekali potensi, yang ketika disyukuri akan mengetahui banyak hal. Dalam hal ini Allah berfirman yang artinya Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur (Qs. Al-Nahl 78)

Dengan demikian, meskipun tidak mengetahui sesuatupun, bukan berarti tidak membawa apa-apa, karena bersamanya Allah membekali manusia dengan seperangkat instrumen yakni fisik, akal dan hati sebagain potensi internal  yang ternyata sebagai the gate of knowledge atau pintu gerbang ilmu dan pintu gerbang makrifah yang sangat penting. Maka dalam iman Islam, aktivitas memberdayakan potensi internal di antaranya dengan mencari, belajar dan menguasai ilmu menjadi sangat penting. 

Mengapa? Ya, di antaranya karena penguasaan ilmu akan bersinergi dengan kualitas iman. Iman dapat terpatri semakin kukuh ketika bersinergi atau disenergikan dengan penguasaan ilmu dan dibuktikan dengan beramal shalih dalam kehidupan nyata. Jadi, iman, ilmu, dan amal merupakan tiga pilar yang terjalin berkelindan saling menguatkan. Ketika salah satunya melemah, maka akan berakibat melemahnya yang lainnya. Oleh karenanya dalam muhasabah kali ini kita berkepentingan untuk mengulangkaji tentang ilmu dan keberkahannya.

Dalam epistemologi Islam dinyatakan bahwa ilmu bersumber dan berasal dari Allah Yang Maha Mengetahui. Allah adalah causa prima. Allah menciptakan alam baik alam besar (makro kosmos, jagad raya) maupun alam kecil (mikro kosmos, manusia) serta menurunkan wahyu (Qur'an Hadis), maka ada ilmu yang dapat diperoleh ketika mentadaburi alam (yang sering disebut dengan ilmu akliah) dan ada ilmu yang diperoleh melalui pembacaan kreatif atas wahyu (yang kemudian cenderung melahirkan ilmu naqliah).

Baik ilmu akliah maupun naqliah, merupakan sarana yang dapat menyampaikan diri kita pada sumber hakikinya, yaitu Allah swt. Oleh karenanya pencarian ilmu, penguasaan ilmu, dan pengamalan ilmu idealnya dapat menjadi wasilah atau instrumen bagi kita atau bagi setiap orang yang berkidmat kepadanya kepada jalan dan kedekatannya dengan Allah ta'ala.

Inilah kira-kira di antara yang dimaksudkan oleh Allah dalam firmanNya, sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Fathir 28) Berdasarkan normativitas ini, maka dipahami bahwa ciri utama ulama atau orang yang berilmu bukan saja bergantung tinggi strata pendidikannya dan panjang gelar akademik yang disandingkan pada namanya, tetapi seberapa takut dirinya kepada Allah ta'ala. Takut kepada (siksaan) Allah dibuktikan dengan melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Takut seperti inilah yang lazim dikenal dengan takwa. Jadi orang berilmu adalah orang-orang yang bertakwa; semakin tinggi pendidikan dan gelarnya akan bersinergi dengan kualitas ketakwaannya.  Semakin tinggi kualitas ketakwaannya akan semakin dekat dengan Allah Rabuna.

Apalagi ketika disadari bahwa sumber ilmu sejatinya ya dari Allah. Maka pengusaannya dapat mengantarkan kepada pemilik sejatinya yakni Allah ta'ala.  Jadi orang cerdas dan terpelajar adalah orang yang paling dekat dengan Allah ta'ala.

Kedekatannya dengan Allah mewujud pada pengamalan ilmu yang telah dikuasai. Inilah keberkahan ilmu. Dengan demikian keberkahan ilmu yang dimiliki oleh seseorang bukan terletak pada banyaknya, tetapi pada pengamalannya. Ilmu yang tidak mewujud dalam amal dan tidak memengaruhi perbaikan perilaku yang empunya ibarat pohon yang rindang tetapi tidak berbuah dan tidak bisa menjadi tempat bernaung dari hujan dan panas, sehingga tidak mendatangkan manfaat dalam kehidupan. 

Dengan bahasa lain keberkahan ilmu ketika dapat memberi kemanfaatan bagi kehidupan saja. Ketika ilmu dapat mendatangkan kemanfaatan dan bisa memengaruhi perbaikan perilaku pemiliknya dan sesamanya, maka keberkahannya juga akan tampak jelas pada akselerasi perkembangan ilmu dan hikmahnya yang terus meluas tanpa batas sekat cakrawala yang ada. Bahkan sering tanpa disangka-sangka oleh pemeluknya sendiri. Di sinilah letaknya ilmu yang amaliah itu mengantarkan pemiliknya pada ketinggian akhlak dan kerendahatian budi pekerti.

Sebaliknya terhadap ilmu meskipun banyak sekalipun yang terindikasi pada panjang gelar yang disematkan pada nama dan tingginya strata pendidikan yang diikuti, tetapi ketika tidak dapat mendatangkan manfaat bagi kehidupan dan tidak membawa sipemiliknya kepada perbaikan akhlak, maka hampalah makna bagi diri, sesama dan agamanya. Makanya di sini bisa dipahami bahwa ilmunya (baca gelarnya) tidak berhasil mengantarkannya pada ketinggian akhlak dan kerendahan budi pekerti. Justru sebaliknya menyebabkan kesombongan dan kekufuran. Nauzdubillah. Agar ilmu yang kita miliki amaliah dan amal yang kita lakukan ilmiah, serta dapat mengantarkan diri kita kepada kedekatan dengan Allah, maka kita mesti seperti padi, karena berisi ya merunduk menunduk rukuk sujud pertanda rendah hati. 

Dengan demikian keberkahan ilmu dirasakan ketika dengan ilmu itu dapat membawa dirinya menuju dan dekat bahkan bersatu dengan (ridha) Allah. Keberkahan ilmu ini mewujud pada peningkatan iman di hati, ilmu meluas melintasi samudra dan amal shalih yang dilakukan, sehingga sepanjang hidupnya selalu dalam kebermaknaan, senantiasa menebar kemanfaatan yang membawa kebahagiaan, baik bagi diri, keluarga, sesama dan kehidupan seluas-luasnya. Aamiin ya Rabb.