Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keberkahan Keluarga

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 8 Jumadil Akhir 1443 

Keberkahan Keluarga
Saudaraku, di samping harta dan tahta, maka wanita/pria dan anak (baca keluarga) juga penuh pesona. Mengapa? Iya, karena keluarga menjadi di antara tumpuhannya. Dan realitasnya, keluarga merupakan di antara tuntutan kemanusiaan, tuntunan kemuliaan dan tatanan peradaban dalam Islam. Meski sebagai unit terkecil dari suatu komunitas namun keluarga memiliki peran yang sangat signifikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan beragama. Logikanya, bila setiap orang dalam keluarga berhasil menjadi orang baik, bersama keluarganya mampu menciptakan suasana yang sakinah mawaddah warahmah (yang lazim disingkat dengan samara), maka pasti akan berbanding lurus dengan keamanan, ketertiban, kenyamanan, dan kesejahteraan masyarakat, bahkan bangsa, negara dan agama. 

Ungkapan samara lazim digunakan untuk menggambarkan bahwa keluarga yang dibina atas dasar iman dan takwa akan mewujud dalam suasana yang aman nyaman tentram, saling mencintai, sayang menyayangi, saling asih asah asuh dan satu sama lain berusaha untuk membuktikan segala kebaikan ini dalam tataran praktis dalam kehidupan hari-hari. Di sinilah keberkahan keluarga menjadi nyata dan terasa nikmatnya.

Ilustratrasi tersebut dilatari oleh makna dari ungkapan sakinah mawaddah warahmah itu sendiri. Karena term sakinah berasal dari kata sakana yaskunu yang bermakna ketenangan, saling mesra melepas segala kepenatan yang mungkin ada. Term mawaddah berasal dari wadda yawuddu yang bermakna mencintai dan rahmah bermakna kasih sayang yang mewujud secara nyata seperti kepedulian, penuh perhatian kepada orang-orang yang dikasihsayangi.
Maka dalam pijakan teologis normatifnya di antaranya Allah berfirman yang artinya, Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.(Qs. Al-Nisa1)

Mencermati normativitas di atas dan logikanya, maka pintu pembuka keberkahan keluarga pertama dan utama adalah iman dan takwa atas semua civitas warganya; ya suami, ya istri, ya anaknya semua. Perlu diingatkan kembali bahwa masing-masing kita adalah diri unik yang dianugrahi fitrah. Di antaranya membawa naluri berislam mengimani bahwa Allah adalah satu-satunya Ilah yang pantas disembah, ditakuti, diikuti dan dicintai. Di samping itu juga cenderung pada kebaikan seandainya tidak dipalingkan oleh hawa nafsu dan setan. Di antara kebaikan yang juga fitrah adalah kecenderungan mencintai dan dicintai oleh sesamanya; seorang laki-laki mencintai perempuan, dan begitu juga sebaliknya. Di sinilah pranata keluarga kemudian tercipta. Dan kita juga bisa mengerti bahwa kesempurnaan hidupnya laki-laki yang maskulin harus bersamanya perempuan yang feminin; ada yang dan yin, ada langit ada bumi.

Karena keluarga dibina didasari oleh iman dan takwa, maka ikatan suami dan isteri menjadi sangat kukuh dan agung, sehingga dikenal dengan mitsaqan ghalidhan (4:21) atau perjanjian agung. Dengan demikian bangunan keluarga itu menjadi sangat kokoh. 

Kedua, keluarga menjadi surga. Menjadi bagian keluarga, masing-masing diri tentu harus memiliki rasa turut punya (sense of bilonging), rasa turut serta (sense of participating) dan rasa turut bertanggungjawab (sense of responsibility), sehingga bisa seiya sekata saling asih asah dan asuh merealisasikan surga (kehidupan yang sejatera bahagia) di keluarganya. Dalam konteks ini jauh-jauh hari kita sudah diingatkan oleh Nabi Muhammad saw bahwa keluarga adalah batu pertama dalam struktur bangunan megah masyarakat muslim sekaligus sebagai surga tempat berlabuhnya kasih sayang, ketenangan, kedamaian, keharmonisan dan kebersamaan anggotanya. Segala kebaikan harus menyelimuti kehidupan dalam keluarga, sehingga Nabi menyatakan bahwa baitiy jannaty, rumah tanggaku surgaku, keluargaku surgaku.

Seperti ilustrasi kehidupan di surga, maka keluarga juga menyediakan suasana yang kondusif, bersih, rapi tertata, indah, damai, aman, tentram, sejahtera dan mengkodisikan suasana untuk beraktivitas yang bermakna satu sama lainnya. Hubungan antar satu dengan lainnya, antara istri dan suami, orangtua dan putra putrinya, berlangsung secara indah dan harmonis saling bersinergi menggapai sejahtera dan bahagia. Dengan demikian, rumahku surgaku di samping bermakna tempat tetapi juga memiliki makna yang prinsip adalah kondisi. Bila yang pertama berkonotasi fisik lahiriyah, yaitu tempat tinggal, kediaman yang harus ditata, dipelihara dan diperindah. Maka yang kedua merupakan kondisi atau keadaan yang aman damai damai sejahtera bahagia dan membahagiakan. 

Ketiga, keluarga sebagai berlabuhnya segala rasa.  Setelah beraktivitas mengarungi samudera kehidupan, maka bahtera akan berlabuh jua. Hal inilah di antara analogi yang melatari setiap insani untuk kembali. Kenyataan bahwa keluarga yang lazimnya berdiam di rumah (maskan), adalah tempat berpulang beranjak pergi atau sarana berteduh atau beristirahat bagi setiap orang setelah beraktivitas keseharian. Bahkan bukan saja tempat berlabuh secara fisik, tetapi juga psikhis.

Saya, dan tuan puan atau sesiapapun juga saat beraktivitas di luar rumah, seperti di kantor, toko, sawah, gunung,  hutan, lautan, di atas langit (saat naik pesawat), pasar, di perjalanan atau di manapun berada pasti rindu kembali dan senang saat akan pulang ke rumah. Mengapa? Ya, karena rumah itu "surga"; Karena di rumah ada keluarga yakni orang-orang tercinta yang tengah menanti kedatangan kita sembari terus berdoa akan keselamatan, kesuksesan dan keberkahan apapun aktivitas dan amanah yang kita emban.

Jika saya atau tuan puan adalah seorang suami, maka di rumah ada isteri tercinta yang selalu menanti. Sembari menyiapkan segala urusan dan keperluan keluarga di rumah, seorang isteri sabar menunggu kehadiran kita. Sesaat tiba di rumah, setelah menjawab salam, kita pun disambut dengan senyuman tulus, sapaan ramah dan layanan kerumahtanggaan lainnya, sehingga bisa bersama-sama menikmati indahnya berkeluarga. Begitu juga bila kita seorang isteri yang selalu dirindunantikan oleh suami terkasih kita di rumah. Bila saya atau tuan puan adalah seorang ayah atau seorang ibu, maka di rumah tentu ada anak-anak tersayang yang begitu ceria setelah mengetahui tanda-tanda kepulangan kita dari bekerja. Mereka menyambut dengan sapaan ceria, keluguan perilaku dan gaya khas jenakanya masing-masing, sehingga rasa letih dan lelah karena seharian bekerja menjadi hilang seketika. Begitulah kekuatan cinta putra putri tersayang atas ayah ibunya. Bila saya atau tuan puan adalah seorang anak, maka di rumah ada ayah dan ibu; orangtua kita. Sembari beraktivitas apa saja, ayah dan ibu di rumah terus berdoa untuk kebahagiaan kita di manapun berada. Saat kita sudah tiba di rumah, tak bisa disembunyikan rasa senang dan sikap lega atas kepulangan kita. Dengan wajah-wajah teduh, yang sudah beberapa waktu menunggu, ayah ibu menjawab salam kita sembari menunjukkan atau mengingatkan agar kita segera memenuhi berbagai kebutuhan yang selama ini terjaga seperti shalat, beristirahat, makan minum dan lain sebagainya. Bisa dibayangkan betapa risau hati ayah dan gelisahnya hati ibu, ketika saatnya pulang, tetapi kita belum juga tiba di rumah. Mereka menjadi saling bertanya "mengapa anak kita "sipulan" belum juga pulang, ma, pa?" Atau telpon sana sini. Kerisauannya benar-benar tak bisa disembunyikan.

Begitulah kira-kira, pentingnya diri kita, diri saya, diri tuan puan dalam kehidupan keluarga; apakah kita sebagai seorang suami/ayah, isteri/ibu atau sebagai anak. Oleh karenanya wajar bila di dompet atau di desktop laptop atau handphone kita aploud potho keluarga tercinta. Bahkan juga di meja kerja dan tempat keseharian beraktivitas mencari nafkah. Hal ini untuk mengingatkan bahwa keluarga di rumah sedang menanti kepulangan kita. Maka sungguh besar dosanya bila mengkhianati mereka.

Di samping itu, atas karunia dan keridhaan Allah Rabbuna, keluarga juga menjadi tempat berlabuhnya segala rasa. Bukan saat senang dan bahagia saja, tetapi juga di kala susah, hati merasa gundah gulana dan hidup tak bahagia. Di samping pada Allah melalui shalat dan munajat kepadaNya, maka secara manusiawi segala masalah dapat diadukan pada keluarga untuk memperoleh saran nasihat solutif terbaiknya. Dengan demikian, bila memiliki problem kehidupan, maka bukan malah pergi ke bar sebagai solusinya, bukan pergi ke cafe-cafe sebagai jalan keluarnya, apalagi kompensasinya dengan mengonsumsi minuman keras, ganja atau zat-zat adiktif lainnya, tetapi solusinya adalah pulang ke (rumah) Allah bersimpuh di atas sajadah dan kembali ke (rumah) keluarga. Inilah tempat berlabuh sebenarnya. 
.
Keempat, keluarga menjadi institusi pendidikan diri, sebagai wahana transfer of values, alih nilai; utamanya nilai religiusitas. Secara subyektif, pendidikan di sini dimaknai sebagai proses mewariskan "surga". Keluarga sebagai pranata untuk mewarisi dan mewariskan surga oleh antar generasi. Suami dan isteri harus saling mendidik, saling asah asih asuh meraih bahagia bersama. Ketika kemudian dikaruniai anak, di samping sebagai seorang suami juga menjadi seorang ayah dari anaknya, di samping sebagai seorang isteri juga menjadi ibu, yang secara otomatis menjadi pendidik bagi putra putrinya. Ya pendidik kodrati; yakni menjadi guru karena kodratnya. Orangtua menjadi figur teladan dan idola utama yang harus dapat digugu dan ditiru oleh anaknya. Betapa banyak di antara rumah tangga muslim yang telah menyadari peran dan mampu mengemban amanah sebagai pendidik kodrati sehingga dari keluarga seperti ini lahir generasi Qur'ani yang cerah mencerahkan untuk zamannya. 

Kebersamaan anak di lingkungan keluarga menjadi sangat penting, bukan saja untuk menumbuhkan kesadaran terhadap pernik-pernik suka duka kehidupan sebuah keluarga, tetapi juga sambung rasa, kasih sayang, perasaan senasib sepenanggungan dan keterikatan emosional terhadap anggota keluarganya menjadi solid tak tergoyahkan. Disadari atau tidak, setiap anak akan "berguru dan meniru" ayah ibunya dalam segala hal, seperti kebersihannya, kerapiannya, kedisiplinannya, kesantunan bicaranya, bangun dini harinya, ibadah hariannya; shalatnya, dhuhanya, puasa sunatnya, tilawahnya dan seterusnya.

Pengalaman empirik di atas meniscaya pada setiap keluarga muslim dari masa ke masa namun bisa saja akan berbeda kesan ketika belum mengalaminya sendiri. Alangkah teduhnya hati orangtua menyaksikan anak-anaknya sedari balita sudah dapat membiasakan wudhu setiap saat dan setiap selesai mandi, ikut shalat berjamaah, membacakan doa keampunan untuk dirinya dan orangtuanya usai shalat, setor hafalan dan pernak pernik perilaku yang terkadang usil. Belum lagi keinginan dan kesediaannya belajar yang sejatinya telah turut meringankan beban orangtua, seperti turut membersihkan rumah, menyapu, mengepel, memasak, menjaga adik-adiknya, berbelanja dan seterusnya. 

Kelima, keluarga menjadi ladang amal. Semua anggota keluarga (ayah, ibu, istri/suami dan anak-anak kita) adalah orang-orang pilihan yang sengaja lahir untuk hadir dan atau dihadirkan sehingga bersama kita. Oleh karenanya yang satu hendaknya merupakan ladang amal atas lainnya. Yakinkan bahwa tidak ada pengorbanan yang sia-sia, tidak ada cinta yang bisa dikhianati, tidak ada curahan perhatian yang bisa diingkari dan tidak ada air mata tanpa makna; semua ini insyaallah balasannya surga. Oleh karena itu wahai ayah, wahai ibu, duhai saudaraku semua tetaplah istikamah dalam berkidmat pada keluarga tercinta. Bila ada salah satu di antaranya yang sudah renta atau sakit atau ditakdirkan spesial kepribadiannya atau "nakal" atau memiliki keterbatasan yang tidak seperti umumnya, justru karenanya menjadi ladang amal yang lebih luas, menjadi wahana untuk mendulang pahala sebanyak-banyaknya bagi masing-masing kita. Insyaallah. Aamiin ya Rabb.!