Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keberkahan Tahta

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 7Jumadil Akhir 1443

Keberkahan Tahta
Saudaraku, di samping harta, mengapa tahta begitu mempesona? Bahkan begitu menggoda. Ya, karena di antaranya di balik tahta ada popularitas; di balik kursi terdapat relasi, tahta juga menyediakan harta hal yang umumnya disukacita oleh manusia, tahta juga mengundang banyaknya kolega bahkan di antaranya juga mengaku-ngaku saudara. Jadi pesona tahta bukan hal baru, bahkan sebenarnya telah menjadi sangat mengemuka di sepanjang sejarah manusia. Benar memang bahwa setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Tetapi ini tidak menafikan adanya intrik-intrik dan rebutan tahta di sepanjang sejarah manusia. Bahkan untuk berkuasa, genderang perang mesti ditabuh, bala tentara harus dikerahkan, senjata dan strategi perang diujiditerapkan, dan jiwa raga dipertaruhkan.

Hingga kini, pesona tahta juga menyita hampir seluruh perhatian civitas warga bangsa, baik perhatian yang bersifat materi maupun immateri. Lihatlah perhelatan pilpres, pilkada dan pil-pil lainnya. Segala kemampuan dikerahkan untuk meraihnya, sejak memasang umbul-umbul spanduk baner stiker bakal calon yang diusung, kampanye, sampai jual beli suara dan serangan fajar untuk memenangkannya.

Malah, karena saat berusaha meraihnya telah mengerahkan segala daya dan menghabiskan tenaga juga harta benda, maka ada di antara yang berhasil duduk di tahta kemudian menikmati istirahatnya (karena sudah lelah saat berusaha meraihnya) dan juga berusaha mencari ganti atas tenaga dan harta benda yang telah dikeluarkan pada masa kanpanye sebelumnya. Mestinya juga diingat atau dingatkan bahwa dalam sejarah kemanusiaan tahta telah banyak menggelincirkan orang, meskipun tetap juga ada yang menyelamatkan dan membahagiakan. Begitulah ilustrasi pesona tahta. 

Nah sekarang bagaimana agar tahta berkah memberkahi. Pertama, proses memperolehnya dilakukan halal. Syukur-syukur tahta itu dikasih diamanahi karena kelayakannya bukan atas jalan mengemis menghiba. Seandainya berkompetisi, maka politiknya mesti islami; santun, jujur, fair, jantan, tidak sikut kiri, tidak sikat kanan, pantang menjegal yang mau duluan, dan tidak memengkal mengkhianati yang di belakangnya.

Kedua, membawa kemaslahatan. Ketika tahta telah dalam genggamannya, maka yang pertama pembuka keberkahan adalah amanah tahta penebar kemaslahatan mesti diutamakan. Tahta yang diemban semestinya dipandang sebagai amanah yang harus ditunaikan dengan baik dan profesional, karena akan dipertanggungjawabkan di hadapan khalayak, para pihak dan pada Allah pada akhirnya. Kebijakan yang dikeluarkan hendaknya memberi arti dan membawa makna kebermanfaatan bagi semua pihak, tidak ada seorangpun yang didhalimi atau terdhalimi.

Ketiga, menepati janji. Saat kursi sudah diduduki, rumah dinas sudah ditempati, mulusnya kendaraan telah dinikmati, maka tak boleh ingkar janji. Janji-janji politik saat berkompetisi dan atau saat melakukan kampanye atau saat negosiasi harus dibayar tunai saat berkuasa, bila tidak mau didoakan oleh rakyat agar segera turunnya.

Keempat, tahta idealnya menjadi wasilah untuk mendulang pahala. Karena tidak sembarang orang bisa duduk dan atau didudukkan di atas tahta yang mengurusi urusan publik seperti yang tuan puan jabat saat ini, maka sungguh elok bila mampu menggunakan kesempatan yang ada untuk mendulang pahala sebanyak-banyaknya. Tokh dengan aksi nyata mendulang pahala ini justru memperoleh ganjaran ganda yakni untuk dunianya (termasuk dipilih atau dipercaya lagi) dan akhiratnya.

Kelima, tahta menjadi wasilah bagi diri untuk semakin dekat pada Ilahi. Kesibukan yang melekat pada setiap pejabat sering tidak bisa dielak. Namun ini bukan sebagai alasan untuk lupa diri dan apalagi lupa Ilahi, tetapi harusnya justru memengaruhi dirinya untuk semakin dekat pada Allah. Karena betapa banyak hal yang mestinya diadukan pada Allah al-Hakim yang maha bijak dan adil menentukan segala hal. Sepertiga terakhir setiap malam merupakan di antara saat yang tepat untuk bermunajat mengingat akhirat, apalagi bagi yang kini lagi menjabat.

Keenam, tidak mengenal lost power sindrom. Karena tahta itu amanah, maka ketika amanah itu diminta dan atau harus dikembalikan, maka ya wajar-wajar saja seperti layaknya melepas baju atau sepatu sepulang kerja. Para pejabat seperti ini tidak pernah terkena lost power sindrom, perasaan takut kehilangan kursi yang diduduki. Lost power sindrom hanya menjangkiti orang-orang yang berambisi tinggi, maka jelang masa berakhir jabatannya sudah kasak kusuk, loby kesana kemari untuk maju lagi agar bisa berkuasa kembali, tidak peduli pada perasaan khalayak yang sudah tidak betah lagi, bahkan juga tak peduli padahal khalayak sudah muak melihat wajahnya lagi. Parahnya orang-orang yang penuh ambisi ini akan sakit hati bila tak berkuasa lagi, merasa tak berguna lagi, sehingga teraleniasi sendiri padahal hidup hidup di keramaian insani  

Semoga menjadi ibrah.