Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Malu pada Nabi


Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 29 Jumadil Awal 1443

Malu pada Nabi
Saudaraku, seandainya kita masih saja berkutat antara laku dosa ke dosa lainnya dan atau masih saja menunda-nunda taubat atas kealpaan selama ini, di samping harus malu pada diri sendiri, keluarga dan para guru, mestinya juga malu pada Nabi, malu pada Rasulullah Nabi Muhammad saw. 

Mengapa kita mesti malu pada Nabi? Idealnya begitu, karena beliau lah Nabi yang menyiarkan Din al-Islam, pamungkas nubuwah dan penyempurna risalah sekaligus yang membebaskan umat manusia dari kejahiliyahan sistemik. Kejahiyahan yang sudah merasuk menusuk mendarah daging mendiskrepansi ajaran tauhid para rasul sebelumnya. Dari Nabi yang mulia, Islam diterima oleh para sahabat yang 'udul (adil) dan dhabith (cerdas) lalu sambung menyambung pada generasi tabi'in, tabiit tabi'in dan para ulama sejak era mutaqaddimin hingga era mutaakhirin, sehingga sampai ke wilayah kita, tiba Aceh, sampai di Nusantara lestari hingga kini, generasi kitapun dalam kondisi iman dan Islam insyaallah sampai akhir zaman nanti.

Melalui Nabi Muhammad saw dengan risalah Islam yang dibawanya, mengajak dan menuntun umat manusia untuk menyembah Allah ta'ala, berlaku baik pada sesama, berakhlak mulia identitas keislamannya dan membangun peradaban yang adi luhung. 

Dengan al-Qur'an al-Karim dan sunnahnya, bukankah Nabi Muhammad saw telah menuntun kita agar hidup bahagia di dunia dan di akhirat? Bukankah Nabi memerintahkan kita berlaku yang baik saja dan menghindari sifat juga laku yang nista? Benar bukan? Iya, tentu.

Bukankah Nabi Muhammad melarang keras berlaku syirik dan nifak? Bukankah Nabi berwasiat agar kita menjauhi main judi, minum minuman keras, madat mengosumsi ganja dan zat adiktif lainnya, mencuri dan madon menzinahi istri/anak orang? Benar bukan? Iya, tentu.

Tentang penyakit sosial ini, Sunan Ampel meneruskan pesan Nabi,  dengan wasiat Mohlimo, moh (tidak mau melakukan yang) limo (lima).  Perkara ini dirinci menjadi “emoh main” (tidak mau berjudi, bertaruh, game judi online, lotere, buntut, mengundi nasib), “emoh ngombe” (tidak mau minum minuman yang memabukkan), “emoh madat” (tidak mau mengisap candu atau ganja atau menggunakan zat adiktif lainnya), “emoh maling” (tidak mau mencuri atau kolusi atau korupsi, mark up), dan “Emoh Madon” (tidak mau berzina).

Demikian juga, bukankah Nabi menuntun untuk segera bertaubat, apalagi bila kita masih saja mengabaikan titah Allah ta'ala? Seandainya masih menunda-nunda taubatnya, sebenarnya nunggu apa? Nunggu tua? Ya kalau tidak mati muda. Mau nunggu berkeluarga? Oo malah sibuk karenanya. Atau nunggu kaya? Ya kalau kaya, bila miskin terus sampai tua gimana? Padahal dengan taubat, bisa menjadi di antara wasilah kaya.

Dalam lorong waktu, kita bisa melintasi zaman. Seandainya Nabi datang ke kediaman kita sengaja menemui kita, sementara kita masih melakukan dosa, apa tidak malu? Meskipun  Nabi pura-pura tidak mengetahuinya, lalu Nabi merangkul kita dengan membisikkan nasihat ke telinga "kembalilah pada ampunan Allah dan tetaplah dalam ketaatan padaNya, agar kita dapat bersua dan bersama menikmati indahnya surga". Apa mesti diri Nabi yang harus mengajak pertaubatan kita? Bukankah haditsnya yang kita baca sudah memadai pengganti diri Nabi yang mulia?

Apalagi kita relatif sering menyampaikan selawat ke atas Nabi ke haribaanNya dalam akad nikah kita, setiap memulai ceramah, memulai bacatulis, juga saat berharap syafaatnya di hari akhirat kelak? Nah, apa kira-kira kita layak memperoleh syafaatnya. Lantaran syafaat itu bukannya menggenapkan. Karena secara etimologis, kata syafa’at diambil dari شَفَعَ – يَشْفَعُ yang berarti genap menggenapkan dan perantaraan. Dari makna kata ini maka syafa’at kemudian dipahami sebagai pertolongan yang diberikan oleh Rasulullah saw kepada seseorang yang saat hidupnya di dunia beriman dan beramal shalih serta tidak sekali-kali menyekutukan Allah. Jadi di antara syarat memperoleh syafaat itu beriman dan beramal shalih. Lalu bagaimana kalau amalnya masih salah dan atau selalu salah tak jera-jera apalagi bertaubat? Nah, kita kemudian bisa bercermin, bukan?!

Kita mesti ingat bahwa syafaat Nabi Muhammad saw itu sifatnya membantu atau dapat menjadi perantara yang menggenapkan atau menyempurnakan kebahagiaan yang akan diterima di akhirat kelak.
Dengan demikian syafaat idealnya dipandang sebagai penyempurna atau penutup kekurangsempurnaan pahala dari amalan dan kebajikan yang telah dilakukan saat hidup di dunia sebelumnya. 

Misalnya sudah menunaikan kewajiban tetapi kemungkinan tidak maksimal. Sudah menunaikan shalat fardhu tetapi masih ada yang dilakukannya dengan tidak berjamaah. Sudah berpuasa wajib dan ditambahi puasa sunat, tetapi masih kurang ikhlasnya. Sudah menunaikan ibadah haji, tapi masih terbersit niat mau uzlah dari rutinitas kerja atau berlibur atau bahkan bermaksud berbelanja. Sudah mengerjakan shalat tahajud, tetapi demi dirinya bukan untuk Rabbnya sepenuhnya. Sudah membaca al-Qur'an tetapi sering tidak hadir hati. Sudah mencintai Allah dan rasulNya tetapi belum sepenuhnya dan seterusnya.

Sekali lagi syafaat dari Nabi itu sifatnya menggenapkan yang masih ganjil, mencukupkan yang masih kurang, dan menyempurnakan kebahagiaan di akhirat. Jadi berharap syafaat Nabi itu ya harus sinkron. Kita mesti memantaskan diri untuk layak memperolehnya. Insyaallah. 

Oleh karena itu, mumpung masih dianugrahi kesempatan, maka stop berbuat dosa, berhenti malasnya sekarang juga, dan kini mari memulai menjemput ampunan Allah yang tersedia melimpah ruah. Inilah saatnya bertaubat. Mari tinggalkan segala praktik dan laku yang membawa pada dosa. Mari mulai menghidupkan sepertiga akhir setiap malam dengan ibadah, segera bangun tidur untuk istikamah dalam ketaatan pada Allah, menjemput keridhaanNya, guna menyucikan hati kita, mengasah akal budi kita, menyehatkan fisik kita. Pastikan segera ambil air sembahyang; mengenakan pakaian indah yang kita miliki untuk "sowan" menghadap pada Allah melalui shalat malam, dzikir, tilawah Qur'an,  bermunajat kepada Allah memohon ampunan dan berharap agar Allah memberi hidayah dan kekuatan kepada kita sehingga dapat hidup secara layak bermartabat di dunia ini, dan meraih kebahagian surga nan abadi. Aamiin ya Rabb.