Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Patahnya Sayap Muhammadiyah di Samalanga Aceh


Oleh: Khairil Miswar 

Pada 2016 lalu saya sempat mewawancarai Tgk Bulqaini yang akrab disapa Tu Bulqaini, seorang tokoh dayah di Banda Aceh. Beliau adalah salah seorang tokoh yang cukup vokal memperjuangkan pemikiran Aswaja di Aceh.

Kala itu, saya mewawancari beliau untuk kebutuhan penulisan tesis saya yang bertajuk “Wahhabi dalam Perspektif Himpunan Ulama Dayah Aceh dan Implikasinya terhadap Kehidupan Sosial Keagamaan di Aceh.”

Ada banyak pertanyaan yang saya ajukan saat itu. Salah satunya soal organisasi Muhammadiyah. Terkait soal Muhammadiyah beliau mengatakan dengan cukup tegas bahwa tidak ada masalah dengan organisasi itu.

Beliau juga menceritakan tentang bagaimana keakraban beliau dengan kader-kader Muhammadiyah di Aceh. Dalam soal agama pun begitu, kata beliau. Hanya ada perbedaan-perbedaan kecil yang masih bisa dimaklumi.

Tidak hanya kepada Tu Bulqaini, pertanyaan serupa juga saya ajukan kepada tokoh-tokoh dayah lainnya. Memang ada beberapa tokoh dayah yang tampak kurang berkenan dengan keberadaan Muhammadiyah, namun secara umum pandangan mereka terhadap Muhammadiyah biasa saja, meskipun mereka mengakui ada beberapa perbedaan dalam tatacara ibadah.

Sementara itu, ada pula sebagian tokoh dayah yang tidak mau mengomentari soal Muhammadiyah dengan alasan tidak memiliki pengetahuan yang cukup terkait organisasi itu.

Berdasarkan wawancara dengan beberapa tokoh dayah, termasuk Tu Bulqaini, saya tidak menemukan adanya pernyataan yang menyebut Muhammadiyah tidak boleh ada di Aceh.

Lagi pula faktanya, Muhammadiyah memang telah lama melebarkan sayapnya di Aceh – yang bahkan mendahului masuknya organisasi NU dan Perti.

Artinya, dalam konteks organisasi, Muhammadiyah adalah salah satu organisasi tertua yang telah masuk ke Aceh di masa kolonial, jauh sebelum NU dan Perti berkembang.

Namun begitu, kita tidak memungkiri tentang adanya persaingan antara pemikiran-pemikiran yang dibawa Muhammadiyah dengan keyakinan-keyakinan yang dianut dayah di Aceh. Kontestasi otoritas keagamaan antarkeduanya memang telah, masih dan mungkin akan terus terjadi.

Saya melihat ini sebagai fenomena biasa yang juga terjadi di belahan bumi mana pun. Hal-hal semacam ini tentu tidak perlu dikhawatirkan selama kontestasi itu tumbuh dalam diskursus ilmiah, bukan dalam aksi-aksi anarkis.

Pelarangan Masjid Muhammadiyah di Samalanga 

Tentang kontribusi Muhammadiyah di Indonesia, khususnya di Aceh mungkin tidak perlu diuraikan lagi. Penjelasan terkait itu bisa ditemukan dalam banyak buku, majalah dan koran-koran yang menyemak di kedai kopi.

Bila pun dokumen-dokumen itu sulit ditemukan, dengan kecanggihan teknologi informasi saat ini, informasi itu akan dengan sangat mudah dilacak melalui belantara Google yang kemudian akan mengantarkan pembaca kepada artikel-artikel website dan juga jurnal-jurnal ilmiah. Secara khusus, saya juga sudah pernah menulisnya beberapa kali di kolom Opini Harian Serambi Indonesia.

Nah, meskipun organisasi Muhammadiyah sudah cukup lama hidup dan tumbuh di Aceh melalui lembaga-lembaga pendidikan dari madrasah, PGA sampai universitas ditambah lagi dengan sejumlah lembaga amal dan panti asuhan.

Namun masih ada saja sebagian pihak yang memosisikan Muhammadiyah sebagai komunitas kemarin sore. Saya menduga kondisi ini terjadi karena kurangnya literasi sebagian kita atau mungkin juga ada pihak-pihak yang mencoba menggiring kita untuk tetap larut dalam konflik yang tak berkesudahan.

Pelarangan pembangunan Masjid Muhammadiyah di Sangso, Samalanga, adalah salah satu contoh tentang bagaimana program literasi itu tidak berjalan dengan baik sehingga kebencian-kebencian buta terhadap Muhammadiyah terus bermunculan.

Kita tentu patut kecewa dengan kondisi ini. Ketika konflik bersenjata selesai, kita justru mencoba menciptakan konflik baru dengan topeng agama.
Penolakan terhadap pembangunan Masjid Muhammadiyah di Sangso adalah contoh kegagapan kita dalam memaknai perbedaan. Padahal Masjid Muhammadiyah juga berdiri megah di tempat-tempat lain di Aceh tanpa ada protes yang berarti. Di Juli, meskipun sempat ada penolakan sebelumnya, namun kini Masjid Muhammadiyah tetap bisa berdiri di sana.

Lantas apa yang ditakuti Samalanga? Apakah hanya karena wilayah itu didominasi oleh dayah kemudian bisa menjadi dalil untuk menolak keberadaan Masjid Muhammadiyah? Bukankah kader-kader Muhammadiyah juga ada di sana?

Anehnya lagi, pemerintah yang seharusnya melindungi kebebasan beragama, termasuk di dalamnya pembangunan masjid, justru terkesan menyahuti keinginan satu pihak sembari menafikan kepentingan pihak lain dengan argumen-argumen klise yang sama sekali tidak relevan dengan kampanye moderasi agama yang selama ini digaungkan. Saya pikir ini adalah salah satu bentuk diskriminasi terhadap salah satu organisasi besar di Indonesia.

Saya melihat argumen yang digunakan pemerintah daerah setempat terkait penghormatan terhadap norma-norma dan adat istiadat dalam pembangunan masjid juga sulit dipahami. Apa kaitannya pelarangan pembangunan masjid dengan norma dan adat istiadat?

Apakah pembangunan Masjid Muhammadiyah di Samalanga melanggar norma dan adat istiadat? Jika ia, norma dan adat mana yang dilanggar? Hal-hal seperti ini tentunya harus dijelaskan secara memadai agar pelarangan tersebut tidak terkesan tendensius dengan hanya berdasarkan pada argumen delusif.

Selain itu, hingga saat ini pihak yang menyatakan menolak pembangunan masjid juga tidak mempertegas identitasnya. Sejumlah media menyebut penolakan dilakukan oleh masyarakat tanpa mempertegas identitas masyarakat dimaksud.

Jika memang benar pelarangan itu dilatari oleh keberadaan sejumlah dayah di sana, tentu hal ini juga harus dijelaskan secara terbuka dengan menyajikan argumen-argumen penolakan secara lebih rasional.

Secara sosiologis kita bisa saja menduga bahwa penolakan itu dilatari oleh “ketakutan” akan hilangnya pengaruh dayah di sana. Jika asumsi ini benar, lantas apa yang ditakutkan?

Apakah dengan berdirinya Masjid Muhammadiyah akan secara otomatis menghilangkan jejak dayah yang sudah berpuluh tahun bertapak di sana? Tentu saja tidak. Buktinya, usia Muhammadiyah di Aceh sudah mendekati seratus tahun, tapi faktanya dayah masih tetap bisa eksis dan terus berkembang di Aceh. Lantas apa yang harus ditakutkan?

 Atau apakah ketakutan itu dilandasi oleh perbedaan teologis antara dayah dan Muhammadiyah? Jika asumsi ini benar, saya pikir pelarangan pembangunan masjid tidaklah menjadi solusi, sebab tanpa pembangunan masjid pun perbedaan teologis itu telah, masih dan akan terus ada sampai langit ini digulung.

Lagi pula perbedaan teologis tersebut tidak sampai menempatkan Muhammadiyah pada posisi firqah dhallah (aliran sesat). Sebenarnya di sinilah kemudian kedua pihak bisa saling belajar menghargai satu sama lain. Lalu kenapa begitu sulitnya kita berdamai dan hidup berdampingan?
Patah Sayap

Selain sikap kurang toleran (kalau boleh kita menyebut begitu) dari sebagian kalangan yang menolak pembangunan masjid, saya juga merasa heran dengan Muhammadiyah yang hingga saat ini terkesan belum mampu mengadvokasi dirinya sendiri.

Sebagai organisasi besar, sudah semestinya Muhammadiyah melacak apa yang menjadi akar penolakan pembangunan masjid di sana. Dilihat dari durasi waktu tertundanya pembangunan masjid yang dimulai sejak 2015 sudah seharusnya Muhammadiyah mengidentifikasi tokoh-tokoh utama yang melakukan penolakan untuk kemudian membuka dialog secara intens agar suasana menjadi cair.

Dalam konteks ini, Muhammadiyah harus disadarkan kembali bahwa mereka adalah organisasi besar yang sayapnya terkepak di seantero Nusantara.
Bagaimana mungkin kemudian sayap Muhammadiyah justru patah di Samalanga – satu kawasan yang pernah menjadi lumbung modernis di masa lalu?  Tentunya Muhammadiyah juga perlu mengevaluasi diri agar benang kusut di Samalanga bisa segera diurai.

Semoga saja Samalanga yang harmoni segera terwujud, sebab kita sudah jengah dengan toleransi yang tak kunjung membaik. Kita berharap tak lama lagi pimpinan-pimpinan Muhammadiyah bisa minum kopi bersama tokoh-tokoh dayah di Samalanga sembari bercanda ria.

*) PENULIS adalah Penulis buku Habis Sesat Terbitlah Stres (2017)