Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pesan Kehatia-hatian Dalam Puasa Ramadhan



Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 11 Muharam 1443

Pesan Kehati-hatian
Saudaraku, muhasabah hari ini masih mengambil ibrah dari hijrahnya Nabi dan para sahabat mulia dari Makkah ke Madinah. Bila  membaca secara kreatif menjadi pesan penting dalam menunaikan titah Ilahi yang dalam hal ini tuntutan hijrah, maka proses prlaksanaannya juga mesti dilakukan dengan ekstra hati-hati. Inilah yang melatari tema muhasabah hari ini sehingga diracik dalam judul pesan kehati-hatian. Apalagi hijrah kali ini adalah hijrah yang kesekian kalinya, setelah sebelumnya ke Ethiopoia dua kali dan Thaif sekali.

Dalam catatan sejarah, kita membaca bahwa kehati-hatian adalah pesan utama juga pertama yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw kepada para sahabat mulia yang akan hijrah ke Madinah. Mengapa? karena situasi berislam di Makkah saat itu benar-benar sudah tidak lagi aman dari ancaman, intimidasi dan upaya "menghabisi" yang dilakukan oleh orang-orang kafir quraisy yang nota bene menguasai sektor kepemimpinan publik. 

Membaca situasi dan kondisi yang terjadi, dengan bijak Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin agama, seorang nabi harus bertanggungjawab memberikan rasa aman nyaman dan memberi solusi ilahiyah atas Islam dan umat Islam yang tengah "terancam". Ya, terancam karena kepemimpinan publik (kepala negara) berada di tangan orang-orang kafir quraisy, sementara Nabi Muhammad saw baru berhasil berperan sebagai kepala agama saja. Kepemimpinan agama sekaligus kepemimpinan publik (baca kepala negara) baru berada di tangan Nabi Muhammad saw saat nantinya eksis di Madinah.

Menyahuti pesan kehati-hatian yang disampaikan oleh Nabi, maka semua sahabat saat itu berangkat hijrah ke Madinah dengan sangat hati-hati; berangkat di waktu malam hari atau siang hari tetapi dengan cara bersembunyi-sembunyi. Semua ini dilakukan karena taruhan hijrah adalah keselamatan jiwa dan agama. Namun demikian, berbeda dengan hijrahnya Umar bin Khathab.

Sebuah riwayat yang dihubungkan kepada Ali ibn Abi Thalib menuturkan, “Setahu saya, semua muhajirin berhijrah dengan sembunyi-sembunyi, kecuali Umar ibn al-Khathab. Sebelum berangkat hijrah, ia membawa pedang dan menyelempangkan busur dengan menggenggam anak panah di tangan dan sebatang tongkat komando. Ia menuju Ka’bah saat orang-orang Quraisy tengah berkumpul.

“Umar melakukan tawaf di Ka’bah tujuh putaran dengan khusyuk, lalu menuju ke Maqam Ibrahim untuk melaksanakan shalat. Setelah itu, setiap lingkaran orang banyak didatanginya satu per satu seraya berkata kepada mereka, ‘wajah-wajah celaka! Allah menistakan orang-orang ini! Aku akan berhijrah ke Madinah melaksanakan perintah Rasulullah. "Barang siapa yang ingin diratapi ibunya, ingin anaknya menjadi yatim, atau istrinya menjadi janda, hendaklah ia menemuiku di balik lembah ini.” Dan, ternyata tak seorangpun yang berani menghalangi hijrahnya Umar.

Dalam konteks sosio kultural, agaknya keberanian Umar sejatinya juga masih terukur mengingat ketangguhan beliau dalam mempertahankan keislamannya, dan posisi atsu kedudukan klan beliau di mata masyarakat jahiliyah yang relatif kuat, sehingga sikap Umar harus dihormati (baca dibiarkan) bila tidak ingin ada upaya tuntut bela atau perang antar klan di Makkah. Sungguhpun demikian, keberanian Umar tidak sedikitpun mengurangi makna atas pesan kehati-hatian.

Lalu apa ibrahnya? Ya, kehati-hatian menjadi pesan universal, apalagi dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini, seringkali jalannya penuh duri juga bisa dipahami sebagai dunia yang sekarang kita huni ini di mana terdapat banyak bahaya, rintangan, godaan dan ranjau-ranjau yang siap meledak menghancurkan. Oleh karenanya diperlukan sikap kehati-hatian saat melintasi atau mengarungi hidup di dalamnya.

Bahkan dalam literatur Islam, kehati-hatian sejatinya merupakan di antara karakteristik inti dari takwa. Adapun inti pesan kehati-hatian dalam hidup dan kehidupan adalah mematuhi aturan, baik aturan yang diturunkan oleh Allah maupun aturan yang yang ada di semesta termasuk yang dibuat/disepakati oleh manusia. Standar pesan kehati-hatian adalah mengerjakan yang disuruh oleh Allah dan menjauhi laranganNya. Dengan sikap kehati-hatian, kita akan selamat di dunia maupun di akhirat, terhindar dari marabahaya. Aamiin