Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hidup itu Air


Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 27 Rabiul Akhir 1443

Hidup itu Air
Saudaraku, sembari kita bercermin diri sebagaimana telah diingatkan dalam muhasabah yang baru lalu, maka saya pikir biarlah hidup itu mengalir secara alamiyah bagai air saja. Tokh air juga menjadi sumber utama hidup dan kehidupan manusia. Oleh karena itu ijinkan loen tuan memberi judul muhasabah hari ini dengan hidup itu (bagai) air.

Sudah lazim diketahui bahwa air merupakan keniscayaan hidup dan kehidupan ini. Oleh karena itu bisa dipahami dari segi keberadaannya saja sudah sangat dihajatkan oleh semua makhluk. Air itu melegakan dan menghilangkan dahaga kehidupan. Karena hidup itu air, maka sungguh cakep bila keberadaan dan kehadiran kita dapat menghilangkan “dahaga” kemanusiaan.  Kemiskinan harta benda, keterbelakangan ilmu pengetahuan juga teknologi dan kemerosotan akhlak, kegersangan spiritual di hati merupakan 'dahaga' kemanusiaan yang masih dirasakan dan terjadi di sekitar kita. Oleh karenanya segala peran yang dapat dilakukan untuk menghilangkan dan atau setidaknya mengurangi rasa dahaga tersebut mendapat apresiasi yang tinggi.

Sebagaimana sunatullahnya dari segi zatnya yang cair, air itu mengairi, mengaliri, menutupi (baca menutupi lobang, menutupi kekurangan), meratakan dan tidak pernah melawan arus. Seperti halnya air, maka dalam menjalani hidup ini, mestinya kita jalani dengan mengalir saja dan mengikuti arus (baca menaati syariat Islam),  urusi diri sendiri dan keluarga saja yang utama, dan tidak perlu merecoki sesamanya. Karena terlalu naif rasanya ngurusi (baca nggaruk-nggaruk gatal yang dialami) orang lain, padahal dirinya sendiri saja gatal di mana-mana tak dipedulikannya, mengata-ngatain saudaranya padahal diri sendiri saja masih jauh panggang dari apinya, menjelek-jelekkan sesamanya padahal punggungnya sendiri dipenuhi daki-daki kemanusiaan, menyalahkan orang lain padahal dirinya sendiri juga tak tahu ke mana juntrungannya. Melawan arus seperti ini merefleksi pada sikap merasa benar sendiri, selainnya salah: suami/istrinya salah terus, koleganya selalu keliru, orang-orang di sekitarnya semua tak becus dan negatif thinking lainnya. Bila melawan arus, maka pasti berat jalannya.

Karena hidup itu air, maka biarlah ia mengalir secara alamiyah saja dengan menerima ketentuan atau takdir Allah, yakni di dalam genggaman tangan kekuasaan Allah yang maha mengatur. Hanya dengan tunduk-patuh dan beserah diri pada Allah secara kaffah (baca berislam) seperti ini hidup menjadi bermakna dan pasti merasakan bahagia. Sebaliknya, bila melawan arus, maka konsekuensi logis pasti menyertainya. Ingkar takdir hanya akan mempersulit diri sendiri, tidak memantaskan dirinya sendiri sebagai hamba yang bersyukur hanya akan mengundang beragam siksaan, dikendalikan oleh tangan lain selain “TanganNya” Allah, hanya akan sesat dan menyesatkan.

Dari segi sifat dan karakteristiknya, air itu dingin dan mendinginkan. Betapa indah dan mulianya bila hidup kita, kehadiran kita membawa kesejukan seluas-luasnya bagi kehidupan, mendinginkan suasana sehingga bermakna bagi apa dan siapapun yang ada di sekitarnya. Penampilannya bersahaja menawan, kata-kata yang dikeluarkannya santun enak didengar oleh telinga dan nyaman bagi hati, perilakunya baik penuh pesona.  Tentu, tidak elok, melawan kodratnya, misalnya air kok membakar? Mengapa bisa? Ya karema jawaban atas pertanyaan ini ternyata masih sering terjadi di sekitar kita. Hidup yang diisi dengan “membakari” (baca merecoki, memfitnah, mengadu domba, dan parilaku merusak lainnya) adalah kontra terhadp fitrahnya.

Di samping itu, hidup diri kita orang beriman harus memiliki prinsip itu bagai air yang terus bergerak maju, pantang menyerah, mengalir bahkan menembusi batu-batu cadas sekalipun, mencari jalan keluar, mencari dan memberi solusi, tenang menenangkan damai mendamaikan - meski harus tetap berhati-hati karena air tenang bisa menghanyutkan - sehingga menjadi cermin kehidupan.

Aamiin ya Rabb