Askar Perang Sabil Bertempur Di Palagan Bantul
Pada kurun waktu 21 Juli 1947 - 4 Agustus 1947, Belanda kembali berusaha menguasai Indonesia dengan melancarkan serangan ke beberapa wilayah yang dikenal dengan Agresi Militer I. Hal ini membuat keprihatinan di kalangan ulama yang berada di Yogyakarta.
Selanjutnya, para ulama Muhammadiyah melakukan iktikaf di Masjid Taqwa Suronatan pada Ramadan 1947 yang menghasilkan keputusan dibentuknya milisi APS (Askar Perang Sabil) dan badan perjuangan MUAPS (Markas Ulama Askar Perang Sabil). APS merupakan pejuang bersenjata yang berintikan gabungan dari bekas laskar Hizbullah dan Sabilillah.
Dengan dibentuknya APS maka Muhammadiyah sebagai gerakan nahi mungkar telah menepati janjinya. Langsung dipimpin para ulamanya, Badan Perjuangan Muhammadiyah APS melawan angkara murka Belanda yang hendak menjajah lagi Indonesia.
Yogyakarta, 19 Desember 1948
Tanpa sopan santun diplomatik, mendadak di tengah malam pemerintah kerajaan Belanda mengkhianati kesepakatan gencatan senjata. Disusul kemudian di pagi harinya dengan aksi militer serangan udara atas lanud Maguwo dan kota Yogyakarta. Kraai Operatie demikian Letjen Simon Hendrik Spoor sang panglima memberi sandi aksi militernya.
Setelah serangan udara mendadak, sesaat kemudian Belanda menerjunkan pasukan komando lintas udara baret merah Korps Specialle Tropen (KST). Disusul kemudian kolone militer besar-besaran masuk ke Yogyakarta dari arah Magelang dan Salatiga. Turut ambil bagian dalam kolone ini, pasukan baret hijau veteran perang Bali dan Sumatra yang terkenal kejam yaitu batalyon Andjing NICA dan batalyon Gadjah Merah.
Tentara Nasional Indonesia jelas takkan mampu mempertahankan ibukota negaranya dengan taktik perang linier. Namun demikian, Panglima Komando Djawa Kolonel Abdul Haris Nasution sebelumnya telah merancang sistem pertahanan wilayah “wehrkreise”. Blue print ini telah dipahami seluruh pimpinan tentara Indonesia yang tertuang dalam dokumen perintah Siasat No 1.
Jenderal Soedirman sang panglima besar tentara yang sedang sakit, langsung berangkat ke Istana Presiden di Gedung Agung jalan Malioboro. Pak Dirman sekedar klarifikasi kepada Presiden Soekarno tentang siapa yang akan memimpin perang gerilya semesta.
Karena presiden memutuskan untuk tetap bertahan di istana, maka kendati sakit parah sang panglima besar-pun berangkat keluar kota untuk langsung memimpin perang gerilya. Sebelumnya Pak Dirman telah mengutus kurir untuk menyampaikan perintah kilatnya.
Siaran RRI Yogyakarta-pun pagi itu menyiarkan perintah Jenderal Soedirman agar seluruh kekuatan tentara dan rakyat Indonesia melaksanakan Perintah Siasat Nomor 1. Walhasil hari-hari kemudian Belanda dipaksa meladeni operasi gerilya pejuang Indonesia, seluruh wilayah Jawa dan Sumatra dibentuk kantong-kantong pertahanan “wehrkreise” sesuai blue print rancangan Kolonel AH Nasution.
Menyingkir ke Selatan
Mematuhi perintah panglima besar tentara, para pemimpin pejuang bersenjata APS memberi komando pasukannya untuk meninggalkan kota. Tujuan yang direncanakan adalah ke arah selatan, tepatnya di Karangkajen. Setelah satu minggu, markas APS di pinggir kota inipun diketahui oleh Belanda dan Karangkajen diserang secara besar-besaran.
Pasukan APS bergerak ke selatan untuk menghindari kejaran Belanda, melalui Salakan dan Semail. Atas inisiatif MUAPS Cabang Bantul, maka pindahlah seluruh staf pimpinan MUAPS dan APS ke sebelah barat kota Bantul.
Bantul yang jaraknya hanya sekitar 10 km dari kota Yogyakarta sangatlah mudah untuk dijangkau oleh Belanda. Maka Bantul-pun tidak lepas dari sasaran pendudukan Belanda, selanjutnya pusat perjuangan APS bergeser lagi ke arah barat dan menempati daerah Gesikan Pandak.
Di Gesikan APS menempati salah satu lokasi dalam pabrik gula, yang pemimpin pabriknya orang pribumi asli. Untuk beberapa saat APS bermarkas di Gesikan, yang kemudian juga diketahui Belanda dan mendapat serangan yang hebat dari Belanda.
Serbuan Belanda ke Gesikan
Pada waktu Belanda melancarkan serangan ke arah pabrik gula Gesikan, route yang dilalui melewati perbukitan di daerah Guwosari. Tentara Belanda merampas dan mengambil barang-barang penduduk yang berhasil dikuasainya. Untuk melawan dan menghadang laju serangan Belanda, pasukan APS dikerahkan dan menempati daerah sekitar Pajangan.
Pertempuran tidak bisa dihindari, karena perlengkapan Belanda lebih memadai maka pasukan APS melakukan perlawanan secara gerilya. Daerah-daerah yang terlewati tentara Belanda mulai dikosongkan untuk menghindari kekejaman. Meskipun demikian didukung oleh masyarakat APS memberikan perlawanan yang sengit, sehingga membuat kewalahan tentara Belanda.
Masyarakat menyediakan segala keperluan makan para pejuang, dan rumah-rumah mereka dijadikan tempat persembunyiannya. Berkat semangat juang pasukan APS dengan didukung sepenuhnya oleh masyarakat maka tentara Belanda dapat ditahan, bahkan Belanda menarik pasukannya ke arah utara.
Untuk kedua kalinya Belanda melakukan penyerangan ke Gesikan, dan ternyata Belanda berhasil mendesak pasukan APS. Melihat situasi yang semakin kritis, para pemimpin pasukan APS memerintahkan anggotanya untuk mundur.
Pasukan APS menyelamatkan diri ke arah barat, tepatnya di Tegallayang Pandak. Tegallayang dijadikan pusat MUAPS dan pasukan APS, baik dalam rencana penyerangan maupun penyiapan segala keperluan pasukan APS.
Tegallayang sebagai basis perjuangan
Kemudian pusat perjuangan APS geser ke barat daya menuju markas barunya di Tegallayang. Di desa ini pasukan menempati rumah-rumah penduduk dengan pusatnya di masjid. Pada waktu APS di Tegal Layang inilah Belanda selalu gagal menjangkau tempat ini. Usaha Belanda untuk sampai ke pusat APS selalu dapat digagalkan oleh para pejuang APS yang didukung masyarakat setempat yang patriotik.
Askar Perang Sabil cocok dengan kultur masyarakat Islam Tegallayang. Pasukan APS memiliki landasan kuat sebagaimana diajarkan agama bahwa hukumnya wajib membela tanah air. Kewajiban ini dilakukan dengan semangat jihad fisabilillah (berjuang di jalan Allah) dan Hubbul Watan Minal Iman ( cinta tanah air adalah sebagian dari iman). Hadirnya APS di Tegallayang laksana anak yang pulang ke orang tuanya.
APS Cabang Bantul
Mobilisasi kekuatan terhadap anggota APS itu semula bertempat di pondok pesantren, masjid-masjid dan siswa sekolahan yang dilakukan oleh para ulama setempat. Di kabupaten Bantul mobilisasi APS dilakukan di beberapa tempat, seperti di Langgar Al Huda milik KH. Mathori Al Huda, masjid Jami' di kecamatan Bantul, masjid Badegan Bantul, Pesantren Krapyak Sewon, Pesantren Ngrukem dan Pesantren Gesikan Pandak.
APS cabang Bantul dipimpin oleh imam besar KH. Mathori AI Huda dengan komandan APS Sunardjo, yang didukung oleh beberapa tokoh ulama dan masyarakat. Para penggerak APS tersebut tergabung dalam satu kesatuan setingkat pleton, juga ada yang bertugas sebagai perantara dan mengkoordinasikan penyiapan dapur umum. Mereka saling mengisi peluang untuk turut berpatisipasi dalam perjuangan.
Sunardjo selaku komandan APS batalyon di Kabupaten Bantul membawahi 9 kecamatan (dahulu kapanewonan), yaitu Bantul, Pajangan, Sedayu, Srandakan, Sanden, Bambanglipuro, Pandak, dan Pundong.
Masing-masing kecamatan diangkat satu orang kepala seksi, yang bertanggungjawab atas kesiapan dan pemberangkatan satu pasukan APS. Tugas ini dibebankan kepada para kepala seksi, dimaksudkan untuk lebih memudahkan memobilisasi masyarakat yang tersebar di berbagai wilayah. Dengan begitu mereka dapat dengan cepat menerima tugas dan segera melaksanakannya, karena perintah untuk maju di medan perang senantiasa diharapkan oleh para pejuang APS.
Untuk mengkoordinasikan kegiatan APS komandan batalyon yang membentuk dan mengangkat komandan pleton di setiap kecamatan. Di antara komandan pleton yang diserahi kepercayaan mengurusi APS itu adalah: Warso Warsito di kecamatan Bantul, Damanhuri di kecamatan Pajangan, Suratbiyanto di kecamatan Pandak, Sugito di kecamatan Srandakan, Zaini di kecamatan Sanden, Idris di kecamatan Pundong, Gino di kecamatan Bambanglipuro, dan Khamin di kecamatan Kretek.
Untuk wilayah timur markas APS dipusatkan di sekitar Gondowulung dan Pleret. Beberapa tempat dijadikan sentral perjuangan untuk menghadang dan mengusir Belanda. Mereka berdatangan dan berkumpul untuk menerima tugas di sebelah selatan kota, seperti Sie Soeradal, Sie Widodo, Sie Sudarmo dan Sie Komarudin.
Pos-pos pasukan berpindah-pindah meskipun hanya terdapat di satu kecamatan. Hal ini dikarenakan untuk menghindari serangan Belanda dan untuk lebih meyakinkan strategi penyerangan kembali kepada pihak Belanda. Tempat-tempat yang pernah dijadikan markas para pejuang itu seperti rumah Sastrodiwiryo kepala dukuh Jati, Dullah Sattari Brajan, Dullah Kapi Jejeran, dan H. Maksum di Jejeran.
Keterlibatan seluruh lapisan masyarakat di beberapa tempat tersebut tidak lepas dari usaha ulama setempat, yang dengan lantangnya menyuarakan semangat perjuangan melawan penjajah.
Di antara para ulama yang bekerja keras dan ulet adalah Kyai Maksum dan Kyai Zuhdi Syakuri. Mereka mampu membangkitkan semangat juang para laskar APS dan segenap masyarakat, sehingga berbagai perlawanan terhadap Belanda, mereka tidak gentar menghadapi tentara Belanda yang memiliki perlengkapan senjata.
Hasilnya cukup memuaskan dengan mundurnya tentara Belanda di beberapa tempat pertempuran. Semangat perjuangan, api kemerdekaan dan patriotisme rakyat benar-benar terlihat dalam pertempuran di Jati dan Brajan. Hal ini salah satu bukti keikutsertaan seluruh rakyat yang dimobilisasi para ulama dalam usahanya mempertahankan kemerdekaan.
Beberapa orang yang dipercaya duduk di pucuk pimpinan APS cabang Bantul selain KH. Mathori Al Huda dan Sunardjo, antara lain adalah Sastro Nardoyo, Pawironitro, Mahmud TL., Isman Zahrowi, R. Sukardi, dan M. Mujahid.
Mereka termasuk tokoh ulama yang mampu memobilisasi dan menggerakkan masyarakat. Hal ini tercermin dalam segala aspek terjangnya yang senantiasa mengajak dan memberi teladan untuk berjuang di jalan Allah, dengan berkorban jiwa, raga dan harta untuk keberhasilan perjuangan.
Para tokoh ulama dan masyarakat turut aktif berjuang melalui berbagai cara dan strategi, ada yang sebagai penyeru dan pemberi semangat, ada yang menjadi penyandang dana, ada yang menjadi penggerak barisan belakang termasuk penyediaan makan para pejuang APS dan ada yang menjadi kurir untuk menyampaikan perintah atau pesan dari pimpinan ke basis-basis pertahanan laskar APS. Masing-masing melaksanakan tanggung jawab yang diembannya dengan penuh keikhlasan dan saling membantu satu sama lainnya.
Dukungan logistik dari umat
Pada waktu pasukan bersenjata APS bermarkas di Gesikan, yang menempati salah satu lokasi di pabrik gula, mendapat bantuan bahan pakaian dari blaco dan gula pasir. Bantuan makanan dari pabrik yang berupa beras, gula dan garam dapat meringankan beban, bahkan dapat memenuhi kebutuhan pasukan APS sehari-hari. Adapun lauk-pauk dikumpulkan dari tiap kecamatan berupa kelapa, yang dapat dipergunakan untuk makan sehari-hari, bahkan dapat dikirim ke front pertempuran.
Usaha lain yang dilakukan pasukan APS untuk memenuhi perbekalannya yaitu pembuatan minum di Srandakan. Pekerjaan ini dilakukan dengan mesin giling seorang Tionghoa yang bernama Tjo Ung. Hasil pembuatan minum ini mampu menambah kebutuhan pasukan bersenjata.
Pendanaan yang lain berasal dari bantuan masyarakat baik berupa uang, pakaian maupun apa saja. Semuanya dikumpulkan atas kerelaan dan ketulusan masyarakat muslim dalam turut membantu perjuangan. Kebutuhan perjuangan yang besar mampu
dicukupi oleh masyarakat berkat ajakan dan himbauan para ulama untuk ikut berjihad di jalan Allah melalui berbagai bentuk partisipasi disesuaikan kemampuan masing-masing.
Menyerang Kota
Pada tanggal 8 Januari 1949 pasukan bersenjata APS bersama TNI sub Wehrkreise (SWK) 103 B melakukan serangan ke Yogyakarta untuk merebut wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda.
Pasukan APS dipimpin langsung oleh Imam Besar KH. Mahfud Siradj dan sebagai komandan APS adalah Sarbini. Serangan ini berhasil dengan gemilang karena mampu merebut kembali beberapa daerah yang diduduki Belanda.
Pasukan APS yang akan dikirim menyerang kota Yogyakarta terlebih dahulu dikumpulkan untuk mendapat perintah dan pembagian tugas. Masing-masing anggota regu tetap dibawah komandan dan setelah melakukan penyerangan supaya kembali ke pangkalan.
Untuk menyerang Kota Yogyakarta pada SO 1 Maret 1949, pasukan APS diatur sedemikian rupa untuk mengadakan persiapan dari arah selatan benteng dan tersebar ke dalam kota di bawah pimpinan Komandan TNI Kompi Komaruddin. Sebelumnya, pasukan bersenjata APS di daerah Bantul mengadakan konsolidasi di sekitar Sewon untuk menghambat masuknya pasukan Belanda yang datang dari Barongan.
Pertempuran Sonosewu
Pasukan APS disisakan dua regu yang terus melakukan gerilya ke dalam kota, yang dipimpin oleh Moh. Abdul Mabrur dengan markas di Sonosewu Kasihan. Gerakan Pasukan APS di Sonosewu mampu membuat Belanda cemas dan galau. Bahkan Belanda merasa gentar terhadap semangat perjuangan para anggota APS.
Untuk menemukan markas pasukan APS di Sonosewu, Belanda memperalat mata-mata untuk menyusup ke daerah pribumi. Usaha ini membuahkan hasil dengan diketemukannya markas pasukan APS, maka pada tanggal 14 Januari 1949 Belanda menyerang secara besar-besaran markas APS di Sonosewu.
Pertempuran tidak seimbang memakan korban yang banyak dan para pejuang APS kemudian bergerak mundur ke arah barat menuju pusat MUAPS.
Belanda keluar dari Bantul
Perjuangan dan perlawanan pasukan APS terus berlanjut di berbagai daerah di Kabupaten Bantul. Semangat jihad fi sabilillah dan rasa nasionalisme tetap makin membara di sanubari seluruh lapisan pejuang dan masyarakat.
Keikutsertaan dan keterlibatan dalam berbagai lapangan perjuangan mencerminkan ketulusan dan kerelaan para pejuang yang didukung sepenuhnya oleh seluruh rakyat. Kenyataan ini dapat dibuktikan dalam sepak terjang dan perjuangan masyarakat Bantul dalam melawan penjajahan Belanda.
Pada akhirnya Bantul ditinggalkan Belanda, suasana tampak lengang dan sepi dari penjagaan. Melihat hal ini para pemimpin MUAPS segera bertindak untuk membantu mengatur pemerintahan dan menjaga keamanan.
Dalam jangka satu minggu pengaturan pemerintahan dan penjagaan keamanan diserahkan tanggung jawabnya kepada yang berwenang. Meskipun demikian MUAPS masih diminta melanjutkan bantuannya untuk meringankan dan memudahkan tanggung jawab pemerintah dan keamanan di kota Bantul.
Dahulu MUAPS kini MCCC
Markas Ulama Askar Perang Sabil (MUAPS) dengan badan perjuangan bersenjata APS adalah bukti hadirnya Muhammadiyah dalam mengatasi setiap kesulitan bangsa Indonesia. Kemampuan mobilisasi Muhammadiyah sangat massif, terbukti MUAPS memiliki cabang di berbagai daerah termasuk Bantul.
Kepercayaan umat kepada Muhammadiyah juga sangat nyata, dahulu semua keperluan logistik APS ditopang masyarakat. Mereka yakin, Muhammadiyah dapat dipercaya sehingga dukungan logistik akan dikelola dengan baik tanpa penyimpangan.
Hari ini peran Muhammadiyah untuk bangsa dalam menghadapi pandemi COVID19 kembali ditunjukkan secara nyata melalui MCCC. Masyarakat mendukung Muhammadiyah dan mempercayakan trilyunan dananya untuk mendukung MCCC memerangi pandemi COVID19.
Ratusan rumah sakit Muhammadiyah berikut sumber dayanya ambil bagian membantu negara dalam mengatasi krisis layanan kesehatan di masa pandemi. Sedikitnya 75.000 orang relawan persyarikatan ini dalam beragam kompetensinya bahu-membahu dengan segenap elemen bangsa demi sehatnya Indonesia.
Sekian banyak shelter diselenggarakan oleh Muhammadiyah untuk mengisolasi pasien covid19. Untuk pasien isolasi mandiri di rumah masing-masing, disediakan logistik sembako dan ransum makanan oleh Muhammadiyah.
Muhammadiyah dahulu turut mendirikan Indonesia, setia pasang badan membela Indonesia, dan kini merawat serta menyelamatkan Indonesia. Dirgahayu 76 tahun Indonesia, semoga lekas sehat lahir dan batin.
Sumber :
“Keterlibatan Ulama di DIY pada Masa Perang Kemerdekaan Periode 1945 - 1949 (Tashadi, Darto Harnoko, Nurdiyanto; Depdikbud ; 2000)”
“Askar perang Sabil Dalam Revolusi Fisik di Yogyakarta tahun 1945 - 1949 (Iwan Dwi Aprianto, Andrian Eka Yulianto; Walasuji; 2019)
Tulisan ini telah dimuat pada tanggal 19 Agustus 2021 di :
https://suaramuhammadiyah.id/2021/08/19/askar-perang-sabil-bertempur-di-palagan-bantul/