Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Belajar Dari Kompaknya Pejuang Pendidikan

Belajar Dari Kompaknya Pejuang Pendidikan


Panglima Siliwangi Kolonel Abdul Haris Nasution kalang kabut menghadapi agresi militer I Belanda 1947. Perwira lulusan Akademi Militer Belanda ini sadar pasukan di bawah komandonya tidak akan mampu menghadapi kekuatan militer Belanda. 

Menurut Nasution (1976), saat itu prajurit Siliwangi hanya didukung persenjataan seadanya, jumlah senapan yang dimilikipun terbatas. Sedangkan Belanda memiliki 2 divisi tentara bersenjata lengkap, yaitu Divisi 7 Desember di bawah komando Jenderal Durst Britt berkedudukan di jakarta, serta Divisi B-KNIL dibawah komando Jenderal De Waal berkedudukan di Bandung.

Nasution yang lulusan akademi militer Belanda tidak pernah diajari ilmu perang gerilya. Di almamaternya itu, Nasution hanya belajar ilmu perang reguler. Praktis Divisi Siliwangi ketika itu menghadapi agresi militer Belanda I dengan taktik perang linier yang konvensional. Maka dengan mudah Siliwangi dipukul mundur oleh Belanda.

 

Temuan Besar Pak Guru

Memasuki minggu ke-3 agresi Belanda I, Kolonel Nasution berada di daerah Tasikmalaya hanya ditemani seorang ajudan sedangkan pasukannya cerai berai entah kemana. Dalam dinginnya malam sang Panglima Siliwangi menggendong ransel berjalan ditemani ajudan, dan saat itulah dirinya merasakan demikan luasnya Jawa Barat.

Sebelum masuk akademi militer Belanda, Nasution adalah seorang guru seperti halnya Soedirman. Berjalan kaki di daratan Tasikmalaya menyadarkan bahwa wilayah Jawa Barat itu sangat luas. Saat itulah dengan jiwa pembelajarnya Pak Guru mendapatkan temuan besarnya.

Lantas dibukanya sebuah peta, maka Pak Guru Nasution melihat bahwa 2 divisi tentara Belanda hanyalah titik-titik kecil di wilayah Jawa Barat apalagi di pulau Jawa. Sedangkan area besar di dalam peta itu semua adalah medan perang pasukan Indonesia yang tidak mungkin dikuasai Belanda.

Inilah momentum Kolonel Nasution menemukan strategi menghadapi militer Belanda. Sejak itulah untuk menghadapi Belanda Kolonel Nasution mengubah taktik perang liniernya dengan perang gerilya. Pasca menjabat Panglima Divisi Siliwangi, Kolonel Nasution dipromosi menjadi Panglima Tentara Teritorium Djawa (PTTD).

 

Perintah Siasat Nomor 1

Pasca perjanjian Renville, dalam situasi gencatan senjata Panglima Besar Soedirman beserta jajaran komandan yakin suatu saat Belanda akan kembali melakukan agresi militer. Selaku Panglima Tentara Teritorium Djawa (PTTD), Kolonel Nasution menawarkan konsep strategi perang gerilya untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan agresi militer Belanda.

Dalam konsep pertahanannya Nasution membagi wilayah Jawa dan Sumatra dalam kantong-kantong gerilya yang disebut wehrkreise. Seluruh wilayah Jawa dan Sumatra akan dijadikan medan perang gerilya. Perlawanan dilakukan terus-menerus dan berlanjut dengan menghindari kehancuran total oleh serangan Belanda. Pasukan yang hijrah ke wilayah republik melakukan aksi wingate kembali ke asalnya untuk mengobarkan perlawanan di daerahnya.

Panglima Besar Soedirman menyetujui konsep Kolonel Nasution dan dibakukan sebagai Perintah Siasat Panglima Besar Nomor 1 tanggal 12 Juni 1948. Hari-hari selanjutnya Markas Besar Tentara dan seluruh jajaran sibuk berkoordinasi mempersiapkan pelaksanaan Perintah Siasat Nomor 1 untuk menghadapi Belanda jika melakukan agresi kembali.

 

Kompak adalah kunci keberhasilan

Perintah Siasat Nomor 1 adalah konsep perang gerilya rakyat semesta, maka melibatkan unsur operatif (tentara dan kekuatan bersenjata rakyat), pemerintahan militer, dan pemerintahan sipil. Maka konsolidasipun dilakukan sehingga semua unsur memiliki kesamaan persepsi untuk mendukung keberhasilan operasi.

Ketika Belanda secara mendadak menggelar Kraai Operatie menyerang Yogyakarta 19 Desember 1948, maka melalui Perintah Kilat yang disiarkan di RRI Yogyakarta, Panglima Besar Soedirman memerintahkan seluruh kekuatan tentara dan rakyat melaksanakan Perintah Siasat Nomor 1.

Maka seketika itu seluruh komandan wehrkreise mengobarkan perlawanan gerilya di seluruh Jawa dan Sumatra. Rakyatpun telah siap memberi dukungan apa saja untuk keberhasilan para pejuang dalam operasi gerilya. Dengan kompaknya semua unsur dalam sistem pertahanan segera memfungsikan dirinya.  

Para pemimpin sipil yang telah dilumpuhkan segera digantikan perannya oleh Pemerintah Darurat di Sumatra dipimpin Mr. Syafruddin Prawiranegara. Para diplomat terus berkomunikasi dengan dunia internasional untuk meyakinkan Indonesia adalah sebuah negara merdeka yang sedang berjuang mempertahankan kedaulatannya dari ancaman Belanda.

 

Kita generasi susah kompak ?

Sejarahpun mencatat keberhasilan perang semesta ditandai dengan Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Momentum ini menjadi senjata pamungkas para diplomat meyakinkan dunia internasional bahwa kekuatan militer Indonesia masih ada.

Tentara dan rakyat Indonesia terbukti mampu mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negaranya. Klaim sepihak Belanda bahwa kekuatan militer Indonesia telah lumpuh terbukti bohong belaka.   

Keberhasilan ini dicapai karena seluruh elemen bangsa kompak untuk melaksanakan strategi pertahanan gerilya yang telah dipersiapkan, berikut dukungan perjuangan diplomasi internasional. Sayangnya lain dahulu lain sekarang, seolah kekompakan menjadi barang langka di negeri ini.

Sekarang ini dapat kita lihat proyek pembangunan fisik saja tidak terkoordinasi dengan baik. Cobalah kita amati sekitar kita, jalan yang telah selesai diaspal dengan halus kemudian dibongkar lagi untuk membangun saluran drainase. Kemudian bekas galian drainase kembali ditutup aspal dengan tidak rapi.

Komunikasi pejabat di media juga sering membuat gaduh, barangkali koordinasinya kurang baik. Sebagai contoh pekan ini beredar berita konon bersumber dari BKN bahwa sudah tidak ada lagi pengangkatan CPNS guru, semua diangkat melalui jalur PPPK. Setelah gaduh ada bantahan dari Kemdikbud bahwa masih akan ada pengangkatan guru jalur CPNS.

Dalam situasi pandemi yang kita hadapi saat ini banyak pula pertentangan kebijakan yang diambil para pejabat. Pusat dan pemda terjadi tarik menarik kebijakan PSBB, ada pula polemik larangan mudik tapi boleh pulang kampung. Ketika banyak pihak ingin menghambat penyebaran virus malah Pilkada dipaksakan sehingga banyak kerumunan. Walhasil saat ini terjadi ledakan kasus penderita covid-19 dan ujungnya juga pemerintah 11 - 21 januari 2021 akan menerapkan PSBB di jawa Bali.

Apabila bangsa ini ingin semakin baik, mestinya kita bisa belajar tentang kekompakan dari para pejuang kemerdekaan. Barangkali jika generasi kita yang susah kompak ini hidup di zaman perang, mungkin Indonesia saat ini belum merdeka. Bersyukurlah kita memiliki pendahulu yang kompak. Salam…

 

Tulisan ini telah dimuat pada tanggal 7 Januari 2021 di :

https://www.suaramuhammadiyah.id/2021/01/07/belajar-dari-kompaknya-para-pejuang-kemerdekaan/