Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Puisi, Lagu dan Pesan Moral Ebiet G Ade

 

Puisi, Lagu dan Pesan Moral Ebiet G Ade

Oktober mengingatkan kita pada Kongres Pemuda 92 tahun silam yang sangat monumental dengan “Sumpah Pemuda”, sebagai wujud kristalisasi kesadaran persatuan nasional Bangsa Indonesia. Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 juga ditandai dengan pengukuhan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan. Setelah Indonesia merdeka, Bahasa Indonesia selanjutnya secara resmi menjadi bahasa nasional. Bahasa Indonesia juga menjadi mata pelajaran wajib di semua jenjang pendidikan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Bahkan di tingkat universitas ada Prodi Sastra Indonesia maupun Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang diselenggarakan dalam program diploma, sarjana, hingga pasca sarjana magister dan doktor.

Jam pelajaran Bahasa Indonesia sewaktu saya duduk di bangku SD , SMP, dan SMA dalam seminggunya banyak banget sehingga kadang membosankan. Apalagi bila masuk ke materi tentang sastra misalnya membaca dan mengapresiasi puisi. Sebagai siswa yang rendah selera seni, membaca puisi bagi saya adalah pekerjaan konyol yang terpaksa saja dilakukan karena perintah guru Bahasa Indonesia. Pengambilan nilai membaca puisi adalah horor yang memilukan, karena sudah pasti nilai maksimal yang didapat 6 plus bonusnya diketawakan teman sekelas. Di luar kelas, saat kegiatan Pramuka kakak kelas yang menjadi pembina juga suka iseng memberi hukuman membaca puisi bagi para pelanggar disiplin.



Kenal Ebiet dari Radio GCD FM

Masa remaja saya adalah masa kejayaan radio , saat itu para pendengar dimanjakan dengan beragam program siarannya. Yang suka menyimak cerita ada sandiwara radio, yang suka musik bisa milih program ndangdut, rock, keroncong, maupun POP. Yang suka sepakbola betah-betahnya menyimak siaran langsung pandangan mata melalui radio. Aneh juga kok namanya siaran pandangan mata, wong yang memandang/menyaksikan pertandingan hanya reporternya. Sedangkan para pendengarnya meski tanpa menonton cukup puas bisa membayangkan gayengnya pertandingan sambil ngopi di rumah.

Tentang mendengarkan radio yang paling saya benci kalau jeda iklannya kelamaan, maka saya paling suka mendengarkan radio GCD FM karena punya program non stop musik tanpa jeda iklan. Salah satu musisi yang dijadwalkan seminggu sekali diputer di nonstop music GCD FM adalah Ebiet G Ade. Kalau tidak salah lagu-lagunya Pak Ebiet diputer di program itu setiap hari minggu malam. Sembari mengerjakan PR saya dengarkan saja lagu-lagu Ebiet hingga acaranya selesai hampir tengah malam.

Nonstop music GCD FM itu acaranya tidak dipandu oleh penyiar pokoknya muter lagu terus-menerus, sehingga saya kala itu tidak tahu judul lagu-lagunya Pak Ebiet kendati hafal banget liriknya. Lambat laun saya baru menyadari kekuatan lagu Pak Ebiet bukan semata karena komposisi nada dan musiknya. Rupanya setelah cukup lama menjadi pendengar setianya, saya baru paham bahwa lirik lagu-lagunya Pak Ebiet memiliki kekuatan dan keunggulan pembeda dari lagu ciptaan kebanyakan musisi.



Sarat dengan pesan moral

Bagi saya di setiap lagunya Pak Ebiet, lirik-liriknya tersirat pesan-pesan moral dan nasihat-nasihat yang baik, misalnya dalam sepenggal lirik “yang terbaik adalah, segeralah bersujud, mumpung kita masih diberi waktu” ini jelas pesan dari Al Quran dengan kemasan puitis yang sangat menarik. Ini adalah pendekatan dakwah yang sangat baik dan mampu menembus batas. Dengan lagu itu Pak Ebiet telah menyampaikan sebuah ayat kepada semua penggemarnya yang latar belakangnya berbeda-beda.

Selain tema relijius, Pak Ebiet juga produktif dengan lagu-lagu bagus yang bertema cinta tanah air, pelestarian alam, kejujuran, kasih sayang, kritik-kritik sosial dan ketidakadilan, yang semuanya dikemas puitis. Sejauh ini, saya tidak banyak melihat pencipta lagu di Indonesia yang mampu menulis lirik berkualitas. Indonesia beruntung memiliki Ebiet G Ade yang dengan lagu-lagunya selama puluhan tahun konsisten berpartisipasi menebar atmosfir kebaikan di tengah krisis keteladanan dari para pemimpin negeri ini. Pak Ebiet dengan lagu-lagunya telah menjadi guru bangsa ini. Boleh jadi Alloh SWT telah mengabulkan keinginan Mbah Aboe Dja’far, yang dahulu berharap anak laki-lakinya (Abid Ghofar/Ebiet) menjadi guru agama.



Puisi Menjadi Terdengar Enak

Semua guru Bahasa Indonesia yang pernah mengajar saya, selalu menyampaikan bahwa cara menampilkan karya puisi adalah dibaca dengan intonasi sedemikian rupa disertai ekspresi dan penjiwaan yang selaras dengan pesan puisi. Saya yang berselera seni paspasan jelas tidak pernah bisa menikmati indahnya mendengar dan menyaksikan pembacaan puisi.

Saya beruntung setia menjadi pendengar nonstop music GCD FM tiap malam senin yang menampilkan lagu-lagu Pak Ebiet. Setelah suka dengan lagu-lagunya, akhirnya saya cari-cari berita tentang penciptanya. Rupanya latar belakang Pak Ebiet adalah penyair, pantesan lirik-lirik lagunya sangat bermutu. Cobalah kita amati misalnya di sepenggal liriknya “waktu….telah menggilas semuanya…dia…tinggal punya jiwa”, sebagai gambaran sosok tua renta pembela tanah air yang tetap menjadi pejuang tanpa akhir. Lirik itu menggunakan pilihan kata-kata bersayap yang indah, yang bagi pencipta lagu yang tidak memiliki kompetensi sastra, mungkin cukup menuliskan dengan lugas “pejuang renta yang tetap bersemangat”.

Rupanya ketika saya menikmati lagu-lagu Pak Ebiet itu saya sedang mengapresiasi puisi yang telah dimusikalisasi. Ini terobosan luar biasa dari seorang seniman, sehingga puisi yang tidak semua orang mampu menikmati keindahannya jika hanya dibaca secara konvensional, dengan musikalisasi akhirnya orang berselera seni paspasan seperti saya bisa menikmati, mengapresiasi, dan menangkap pesan-pesan moral dari sang penyair.



Melek Sastra dengan Pendekatan Ngebiet

Pak Ebiet telah menjadi role model musisi yang membangun kekuatan lagu-lagunya dengan lirik yang berkualitas. Menurut saya pendekatan musikalisasi puisi ala Pak ebiet ini perlu diadopsi oleh dunia pendidikan di Indonesia khususnya untuk mendorong anak-anak sejak dini dan remaja tertarik dengan sastra dan musik. Apa yang saya alami waktu sekolah, guru Bahasa Indonesia strateginya konvensional rupanya tidak efektif membuat saya melek literasi puisi.

Pak Ebiet sendiri punya kedekatan kultural dengan Muhammadiyah, baik dari latar belakang keluarga maupun pendidikan formal yang ditempuhnya di SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta dan SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Spirit Ngebiet mungkin bisa dimanfaatkan oleh LSBO dan Majelis Dikdasmen Muhammadiyah untuk secara massif menggelorakan gerakan pembinaan sastra dan musik berkualitas di sekolah-sekolah Muhammadiyah dan Aisyiyah. Jangan sampai sekolah-sekolah Muhammadiyah yang sangat banyak itu kering dari pembinaan sastra yang berkualitas.

Pembinaan sastra yang baik akan membangkitkan gairah anak untuk berani menulis, menampilkan karya, dan menunjukkan eksistensi dirinya. Hal ini juga menumbuhkan kesadaran untuk menerima koreksi dari publik untuk memperbaiki dan membangun kualitas karyanya. Ini sangat penting bagi perkembangan kreativitas anak dan remaja sehingga kelak memiliki kedewasaan, kecakapan hidup, dan selalu solutif menghadapi semua masalah.



Sastra dan Kepemimpinan

Akhirnya kita perlu berkaca dengan masa lalu, ketika para pangeran dan bangsawan di masa kecil dan remajanya selalu dibekali dengan kompetensi kesusasteraan yang mumpuni untuk menyiapkan mereka menjadi pemimpin dan pembesar kerajaan. Dalam kacamata saya, kesusasteraan membentuk kompetensi membaca, menggali ide, mempertajam daya analitis, merangsang inovasi, memperhalus perasaan, menerima saran dan kritik, menghormati karya, etika berbicara dan berpendapat, yang semua itu perlu dimiliki seorang pemimpin. Kompetensi kesusasteraan yang mumpuni nampaknya di masa lalu menjadi indikator seorang pemimpin betul-betul matang ataukah hanya karbitan.

Di jaman now, jangankan kompeten di bidang kesusasteraan, bahkan banyak elit politik dan pejabat yang sekedar berpidatopun tidak cakap dan mengandalkan naskah yang disusun stafnya. Bagaimana akan menjadi pemimpin yang baik, sedangkan menuangkan gagasan dengan baikpun tak mampu? Selamat hari Sumpah Pemuda…….



Tulisan ini pernah dimuat pada tanggal 22 Oktober 2020 di :

https://tajdid.id/2020/10/22/ebiet-g-ade-puisi-lagu-dan-pesan-moral/