Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masjid Jogokarian, Merekat. Melayani dan Memberdayakan Ummat


Menggok tanpo reting

Hari ini tanggal 2 Oktober 2020, terbersit niat saya untuk menulis tentang situasi genting di Yogyakarta akibat prahara G30S/PKI pada tahun 1965. Mulailah saya mengumpulkan materi yang relevan, dan setelah mempelajarinya justru saya yang awalnya ingin menulis tentang serba-serbi perjuangan umat Islam menghadapi komunis di Yogyakarta, tiba-tiba menggok tanpo reting berganti tema. Saya tiba-tiba tertarik dengan kenyataan bahwa di masa lalu Jogokariyan adalah kampungnya komunis. Padahal kita tahu saat ini Jogokariyan menjadi salah satu pusat aktivitas dakwah yang penuh dinamika dan memiliki masjid legendaris yang keberhasilan pengelolaannya menjadi rujukan nasional. Bagi saya ini menarik, karena hingga saat ini setiap Bulan September dan Oktober menjadi agenda rutin bagi netizen untuk saling menyerang di media dengan aneka warna narasinya. Pada satu pihak mengingatkan bahaya laten komunis, di pihak lain mengklaim peristiwa 1965 adalah rekayasa politik yang buntutnya tragedi nasional yang orang komunispun menjadi korban. Bukan hanya seputar September dan Oktober, pembicaraan tentang komunis selalu menghangat dalam menjelang hajatan politik baik Pemilu maupun Pilkada. Namun Jogokariyan mengajari bangsa ini untuk memahami arti sebuah rekonsiliasi dengan perekat sebuah masjid.



Trauma 1965

Peristiwa G30S/PKI masih menyisakan trauma bagi sebagian rakyat Indonesia termasuk kakek saya. Menurut penuturan kakek saya, situasi menjelang dan setelah meletusnya G30S/PKI sangat mengkhawatirkan. Kakek saya yang aktivis Muhammadiyah dan guru ngajipun menerima ancaman / teror misalnya rumahnya diberi tanda yang konon artinya akan diculik. Itu menimpa kolega-koleganya juga, bahkan ada guru ngaji yang setiap malam tidak tidur di rumah, harus mengungsi (sembunyi) ke tempat lain menghindari kemungkinan penculikan. Beruntung kakek saya waktu kecil dan remajanya belajar pencak sehingga cukup percaya diri untuk tidak mengungsi. Padahal dahulu tinggalnya masih ngontrak di sebuah rumah sederhana yang pintunya jika ditendangpun pasti jebol.

Teror itupun nampaknya bukan isapan jempol, wong Pak Carik desa yang terkenal baik hatipun dihabisi dengan senjata api. Kakek dan nenek saya masih ingat betul suara letusan senjata yang menembak Pak Carik, peristiwanya terjadi di malam yang sunyi sehingga suara DOOR terdengar sampai jauh. Kakek dan nenek saya mendengarnya dengan sangat sadar karena belum tidur, maklum mereka punya bayi (adik bungsu ibu saya) yang lahirnya tahun 1965. Secara politik Pak Carik dan kakek saya sesama penggemar berat Partai Masyumi yang telah dibubarkan Bung Karno.

Hidup dalam perasaan terancam teror bukan hanya menjelang meletusnya G30S/PKI. Kekuatan militer Letkol Untung dan Brigjen Suparjo di Jakarta praktis dalam hitungan hari oleh RPKAD dan KOSTRAD dapat dikalahkan. Namun keadaan Daerah Istimewa Yogyakarta masih mencekam, kekuatan militer pendukung G30S/PKI baru bisa dijinakkan oleh RPKAD setelah beberapa pekan. Bahkan jenazah Pak Katamso (Danrem Pamungkas) dan Pak Sugiyono (Kasrem Pamungkas) yang gugur sejak dinihari 2 Oktober 1965 baru dapat dilakukan evakuasi pada tanggal 21 Oktober 1965.



Masjid sebagai Perekat

Peristiwa G30S/PKI di tahun 1965 telah menorehkan trauma mendalam bagi sebagian rakyat Indonesia yang pernah didholimi baik secara fisik maupun sekedar merasakan ancaman dari PKI. Sementara di pihak lain, para anggota dan simpatisan PKI bahkan keturunannya puluhan tahun menyandang stigma negatif akibat dosa politik partai komunis terbesar ketiga yang pernah ada di dunia. Nampaknya rekonsiliasi hingga sekian tahun ke depan adalah perkara sulit. Bahkan Lemhanas yang pernah menggelar hajatan simposium nasional agar para korban peristiwa 1965 dari semua unsur dan golongan dapat melakukan rekonsiliasi pun hasilnya kurang memuaskan.

Namun demikian di Yogyakarta, tepatnya Kampung Jogokariyan bisa menjadi best practices sebuah proses rekonsiliasi yang nyata pasca prahara 1965 dengan sarana perekat masjid. Jogokariyan di masa lalu adalah kampung yang penduduknya banyak berpaham komunis dan Islam abangan. Populasi penduduk yang relijius sangat sedikit, dan awalnya di kampung ini rumah ibadah yang ada hanya langgar kecil. Kegigihan gerakan dakwah di Jogokariyan lambat laun menuai hasil, dari langgar kecil berkembang menjadi masjid yang di dalamnya berlangsung aktivitas ibadah dan kemasyarakatan.

Kultur masyarakat setempat yang awalnya didominasi Islam abangan yang tidak beribadah, bahkan banyak juga yang berfaham komunis lambat laun berubah menjadi relijius. Masjid Jogokariyan menjadi wadah interaksi positif yang merekatkan hubungan unsur-unsur masyarakat setempat yang dahulu pernah secara tegas terkotak-kotak karena peristiwa prahara politik. Saat ini telah 55 tahun peristiwa G30S/PKI berlalu, masyarakat Jogokariyan telah berhasil meninggalkan beban masa lalunya untuk bersama-sama berkhidmat menggapai kemuliaan bersama aktivitas masjidnya yang bahkan manajemennya sekarang telah menjadi rujukan nasional.



Entitas Sektor Publik Memberdayakan Umat

Tentu sangat menarik mempelajari fenomena di Jogokariyan yang menjadikan masjid sebagai basis perekat yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat. Prahara 1965 bahkan menyisakan fenomena orang-orang komunis di berbagai daerah yang awalnya juga Islam (kendati tidak sholat) berpindah memeluk agama selain Islam. Berpindah agama barangkali bagi mereka adalah solusi atas stigma negatif yang dideritanya. Barangkali dengan pindah agama mereka memperoleh komunitas baru yang dirasakan lebih nyaman untuk bergaul dan hidup normal. Nampaknya gerakan dakwah Masjid Jogokariyan sangat memahami peta masalah setempat, sehingga para tokoh Islamnya mampu mengelola masalah menjadi tantangan menarik. Sehingga bisa melakukan strategi pendekatan kepada semua lapisan masyarakat sebagai potensi jamaah yang harus dibina.

Masjid tergolong sebagai entitas sektor publik, yang berdiri di tengah masyarakat, didirikan, dibiayai, digunakan, serta diberdayakan sekaligus memberdayakan masyarakat. Masjid bisa memerankan fungsi kehidupan yang sangat luas dan luwes, dari aspek ibadah, sosial, kemasyarakatan, pendidikan, ekonomi, bahkan pertahanan keamanan negara pun dapat dilakukan melalui aktivitas masjid. Sebagai entitas sektor publik, maka kemakmuran sebuah masjid sangat tergantung dukungan masyarakatnya, dan sebaliknya aktivitas masjid yang terkelola dengan baik dapat optimal menjadi pusat keunggulan, pemberdayakan, dan pembinaan masyarakat.

Keberhasilan Masjid Jogokariyan pastilah ditopang oleh pengelola/takmir yang menerapkan prinsip manajemen sektor publik yang baik, sehingga mampu memberikan layanan terbaik dan adil kepada umat. Masyarakat setempat sebagai umat yang menjadi pelanggan utama Masjid Jogokariyan dapat menikmati layanan masjid tanpa adanya diskriminasi. Layanan yang terbaik dan adil ini adalah kekuatan utama Masjid Jogokariyan untuk merengkuh dan menjadi perekat seluruh umat meskipun barangkali di antara mereka memiliki latar belakang yang bermacam-macam. Masjid ini dapat menampilkan wajah Islam yang teduh dan dapat menerima semua lapisan masyarakat yang ingin beribadah. Warga setempat yang dulunya ada yang komunis, ada yang abangan tanpa merasa ada beban masa lalu merasa nyaman untuk bergabung dalam komunitas masjid. Maka lambat laut masjid ini dapat membawa kampung Jogokariyan menjadi komunitas yang relijius.

Sebuah entitas sektor publik akan semakin dipercaya ketika mampu menawarkan pemberdayaan bagi masyarakat. Melihat perkembangannya yang luar biasa nampaklah bahwa Masjid Jogokariyan mampu menjawab permasalahan umat. Masjid ini menjadi sentra pertemuan antara umat yang lemah yang perlu ditolong untuk diberdayakan, dengan umat potensial yang memiliki sumber daya dan kompetensi untuk memberdayakan saudaranya. Dengan demikian ajakan untuk ke masjid lebih mengena, karena umat memiliki ekspektasi bahwa masalah yang dimiliki akan tersolusikan.



Meraih Kepercayaan Umat

Masjid Jogokariyan sebagai entitas sektor publik juga dikelola oleh takmir yang kompeten dan dapat dipercaya. Syarat entitas sektor publik untuk dapat berkembang pesat adalah pengelolaan yang baik dan akuntabel sehingga kepercayaan publik tinggi, karena hakikatnya pembiayaan entitas sektor publik dari dana masyarakat. Dengan akuntabilitas yang baik maka produk-produk layanan Masjid Jogokariyan akan selalu didukung pendanaannya oleh umat.

Sering kita dengar cerita, bahwa kas Masjid Jogokariyan hampir tidak tersisa karena habis untuk mendanai kegiatan serta disalurkan untuk umat yang membutuhkan. Tentu dengan dukungan laporan keuangan yang dapat dipercaya umat. Meskipun demikian, setiap kali Masjid Jogokariyan memerlukan dana selalu mendapat dukungan dari umat. Publik/umat percaya bahwa dananya tidak diselewengkan, dan juga gembira berinfak shodakoh wakaf bersama Masjid Jogokariyan karena segera termanfaatkan. Ini adalah aplikasi konsep manajemen sektor publik yang baik yang menobatkan masjid Jogokariyan sebagai rujukan praktik terbaik pengelolaan masjid.

Sebuah masjid sebagai entitas sektor publik yang dipercaya masyarakat dapat pula dilihat dari populasi jamaah yang aktif di dalamnya, khususnya sholat lima waktu dan lebih khusus lagi sholat subuh. Boleh percaya boleh tidak, ketika jamaah sholat subuhnya makmur sebetulnya itu indikator kepercayaan publik yang nyata. Masjid Jogokariyan yang aktif berjamaah subuh terbilang banyak, dan dapat diprediksi inilah inti yang menyiratkan kekuatan jamaah sebuah masjid. Matur nuwun….



Tulisan ini pernah dimuat pada tanggal 2 Oktober 2020 di :

https://tajdid.id/2020/10/02/masjid-jogokariyan-merekatkan-melayani-dan-memberdayakan-umat/