Menjinakkan Geng Sekolah
Seperti halnya kota lain di Indonesia, Yogyakarta tak luput dari masalah kenakalan remaja (pelajar). Anak-anak sekolah ini acapkali berani melakukan tindakan melawan hukum yang menimbulkan korban. Di kota manapun bentuk tindakan melawan hukum para koboi sekolah ini mirip saja, misalnya tawuran pelajar, penganiayaan oleh geng motor (klithih), yang semua identik dengan kekerasan.
Kenakalan anak-anak sekolah itu berlangsung dari generasi ke generasi, dalam setiap angkatan ada saja sekelompok siswa yang gemar tawuran dan pelanggaran lain. Mereka biasanya tergabung dalam geng-geng sekolah. Keberadaan geng di sekolah-sekolah juga didukung peran para alumni. Selepas lulus sekolah, mantan pentolan geng sekolah masih menjalin hubungan dengan para siswa juniornya.
Partisipasi alumni dalam “membina” juniornya semakin menambah sulit para guru untuk mengikis eksistensi geng sekolah. Jika ditindak oleh sekolah, mereka tetap dapat melakukan aktivitas koordinasi geng nya di luar sekolah dengan difasilitasi senior yang telah lulus.
Peran Orang Tua
Kendati disebut geng sekolah, namun tidak semata menjadi tanggung jawab sekolah untuk mengantisipasinya. Orang tua siswa seharusnya memiliki kepedulian dan tanggung jawab atas pencegahan perilaku negatif anaknya.
Masalahnya rata-rata anak-anak sekolah yang menjadi gengster sekolah berasal dari keluarga bermasalah pula. Ada juga gengster sekolah yang berasal dari keluarga tidak bermasalah, namun saking suksesnya karir orang tuanya malah kurang dekat dengan anaknya.
Pesan agama untuk senantiasa menjaga diri dan keluarga dari api neraka rupanya luput dari konsep pengelolaan keluarga. Banyak orang tua terlalu menaruh ekspektasi tinggi kepada sekolah, sehingga mengabaikan pengawasan anaknya.
Perlindungan Hukum Para Guru
Semua sekolah tentu berupaya keras mengatasi para gengster belianya. Bapak Ibu Guru pastinya ingin putra-putrinya berhasil dalam belajar dan melewati masa remajanya tanpa masalah. Keberadaan para gengster sekolahan acapkali menciptakan situasi tidak kondusif di sekolah. Bahkan tidak hanya tawuran dengan sekolah lain, gengster sekolah kadang melakukan praktik perundungan bahkan memalak teman-teman sekolahnya.
Ketika orang tua sudah tidak peduli dengan pengawasan anak-anaknya, maka sepenuhnya sekolah memikul beban untuk mengatasi kelakuan mereka. Pada zaman orde lama dan orde baru barangkali seorang guru bisa berperan menjadi inspektur polisi bagi muridnya yang bandel. Namun di zaman now sekedar memberi hukuman lari keliling lapangan basket saja Pak Guru bisa dilaporkan ke dinas pendidikan.
Apesnya ketika ada guru yang menjewer muridnya, urusannya bakal panjang hingga ke meja hijau. Namun demikian, sudah sekian kali muncul berita di media massa kasus guru dianiaya muridnya, bahkan pernah ada yang sampai meninggal dunia. Risiko hukum membuat para guru berfikir dua kali untuk melakukan tindakan pembinaan yang keras kepada gengster sekolah.
Perlukah dikeluarkan dari Sekolah ?
Lemahnya keberpihakan hukum kepada para guru, membuat sekolah cenderung lunak dengan keberadaan para siswa gengster-nya. Paling banter jika dinilai sudah kelewatan maka si murid gengster akan dikembalikan kepada orang tuanya. Jika si anak berasal dari keluarga bermasalah, dengan tidak bersekolah maka kenakalannya semakin tanpa kendali.
Guru mapel Kemuhammadiyahan Drs. Ahmad Djam’an, M.Pd berpendapat bahwa anak-anak geng sekolah bagaimanapun nakalnya sebaiknya dibina secara khusus. Mengeluarkan mereka dari sekolah bukan sebuah solusi bijaksana. Pengalaman Pak Djam’an ketika menjadi guru di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta (SMA MUHI) pernah memberi tratment khusus kepada anak-anak yang nakalnya sudah kelewatan. Pak Djam’an yang merupakan cicit dari tokoh pendidikan KH Ahmad Dahlan tidak mau menyerah dan sekedar mengeluarkan murid nakalnya dari sekolah.
Pak Djam’an ketika masih menjabat sebagai Ketua Umum Pimwil Tapak Suci DIY pernah bercerita kepada penulis bahwa SMA MUHI dahulu pernah memiliki sekelompok siswa yang nakalnya kelewatan. Akhirnya Pak Djam’an berkoordinasi dengan Wakasek Pak Syukri Fadholi, SH membuat program khusus untuk membina mereka.
Tanpa setahu anak-anak itu, pihak sekolah memanggil orang tua mereka. Setelah para orang tua paham dengan kenakalan anak-anaknya, lantas ditawarkan program pembinaan khusus. Jika masih ingin anaknya sekolah di MUHI maka orang tua wajib mengijinkan anaknya mengikuti program pembinaan khusus.
Program ini dirancang keras sehingga orang tua tidak boleh menuntut pihak sekolah jika anaknya mengadu. Jika tidak mengijinkan maka sekolah akan mengembalikan anaknya kepada orang tua. Para orang tua sepakat menerima program khusus untuk anaknya, pokoknya boleh diperlakukan keras asal tetap sekolah di MUHI. Mereka ingin anak-anaknya berubah perangainya menjadi sholih.
Setelah program khusus terhadap mereka berlangsung, rupanya anak-anak bengal itu berubah menjadi baik. Orang tua juga tidak ada komplain meski barangkali anaknya mengadu karena sudah ada kesepahaman dengan sekolah. Anak-anak itu sekarang sudah sukses, sudah “jadi orang” dan yang mengharukan setiap ketemu Pak Djam’an mereka memeluk gurunya itu dan mengucapkan terima kasih. “Pak Djam’an, kalau dulu saya tidak diperlakukan keras di SMA MUHI, barangkali hari ini saya tidak jadi apa-apa”.
Selanjutnya Ahmad Djam’an guru penjinak anak bengal itu menutup karirnya sebagai Kepala SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta (SMA Mupat). Di sekolah kecil ini Pak Guru tiap malam mengadakan sholat lail untuk siswa kelas XII. Pak Djam’an yakin, muridnya kendati kognitifnya paspasan tapi harus sholih. Orang yang sholih gampang diajak maju, asal mau kerja keras dan ulet bermodal kejujuran akan sukses hidupnya.
Geng sekolah dapat menjadi embrio tindakan melawan hukum yang lebih serius, maka sekolah tidak boleh mentolerir keberadaannya. Sekolah dan orang tua harus kompak untuk mengatasi masalah kenakalan pelajar. Perlu ketegasan serta kekompakan orang tua dan sekolah demi masa depan anak-anak.
Tulisan ini telah dimuat pada tanggal 18 Desember 2020 di :