Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Merajut Asa Bersama Sekolah Muhammadiyah



Soeharto, remaja asal Kemusuk Argomulyo Sedayu Bantul tak punya banyak pilihan untuk melanjutkan sekolahnya. Sebagai anak petani ndeso, hanya MULO (SMP) Muhammadiyah yang dapat menampungnya menuntut ilmu.

Berbeda dengan sekolah lain, MULO Muhammadiyah tidak mewajibkan Soeharto mengenakan sepatu dan seragam. Soeharto dan teman-temannya boleh sekolah mengenakan baju jawa (surjan) dan sarung yang dimilikinya, serta tanpa alas kaki (nyeker).

Soeharto-pun merajut asa untuk meraih masa depannya bersama MULO Muhammadiyah Yogyakarta. Bersama Muhammadiyah pula, Soeharto mendapat pendidikan cinta tanah air melalui kegiatan kepanduan Hizbul Wathan.

Beberapa tahun setelah lulus SMP Muhammadiyah, dalam usia 19 tahun Soeharto mengawali karir militernya sebagai Kopral KNIL yang bertugas di Gombong. Sejarah-pun mencatat Soeharto tampil sebagai perwira TNI yang berperan besar dalam perjuangan memerdekakan Indonesia.

Jenderal Soeharto, si anak petani yang di masa remajanya untuk mengenyam pendidikan “hanya” bisa tertampung di sekolah Muhammadiyah, akhirnya dapat menjadi Presiden Indonesia. Sang Bapak Pembangunan Nasional ini dalam berbagai kesempatan menyebut dirinya sebagai bibit Muhammadiyah yang ditanam di Bumi Indonesia.

 

Impian Lasykar Pelangi

Presiden Soeharto tak pernah melupakan diskriminasi akses pendidikan di zaman kolonial yang pernah dialaminya. Mengemban amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya, Presiden Soeharto pun menggeber program nasional wajib belajar.

Pemerintah membangun sekolah-sekolah di seluruh pelosok tanah air, mencetak buku paket untuk anak sekolah, dan biaya sekolah di zaman Presiden Soeharto juga sangat murah. Namun demikian, luasnya wilayah Republik Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke, menyisakan sebagian penduduknya yang tidak terjangkau fasilitas pendidikan pemerintah.

Jauh dari ibukota republik ini, Ibu Mus dan Pak Harfan guru SD Muhammadiyah di Belitong mendidik murid-muridnya para lasykar pelangi yang nyaris kehilangan asa untuk mengenyam bangku pendidikan. Kisah perjuangan Bu Mus dan Pak Harfan bersama sekolah Muhammadiyah-nya telah mengisi ruang kosong layanan pendidikan yang nyaris mendzolimi para lasykar pelangi.

Latar belakang para lasykar pelangi yang anak-anak “wong cilik” barangkali secara sistem sosial oleh masyarakat dianggap wajar bila tidak bersekolah. Namun Muhammadiyah hadir untuk mereka, sehingga bisa bersekolah serta merangkai mimpi, harapan, dan cita-cita masa depannya.

 

Spirit Al Ma’un Sekolah Muhammadiyah

Soeharto dan para lasykar pelangi barangkali hanya segelintir contoh kaum terpinggirkan di zamannya yang “terselamatkan” oleh pendidikan Muhammadiyah. Sekiranya Soeharto dan para lasykar pelangi kala itu tidak bisa sekolahpun, barangkali akan dianggap wajar saja dan tidak ada yang perlu disalahkan. Namun hadirnya Muhammadiyah dengan sayap pendidikannya telah memberi gantungan harapan bagi mereka.

Muhammadiyah melalui sayap pendidikannya diharapkan selalu hadir di tengah ummat dengan spirit Al Ma’un.  Muhammadiyah memiliki ribuan sekolah yang menyebar di seluruh nusantara.  Banyak di antaranya yang tumbuh menjadi sekolah-sekolah besar dan favorit, dan ada pula yang kondisinya kurang baik. 

Sekolah-sekolah Muhammadiyah yang besar, favorit, maju, biasanya biaya pendidikannya mahal. Hal ini karena konsekuensi sekolah swasta, untuk mengejar mutu perlu modal yang harus diusahakan sendiri. Sesuai pepatah jawa “jer basuki mawa bea”, untuk mencapai suatu tujuan perlu pengorbanan.

Selaras dengan spirit Al Ma’un, diharapkan sekolah-sekolah Muhammadiyah yang besar dan favorit tetap memberi kesempatan kaum terpinggirkan untuk bersekolah dengan biaya ringan atau bahkan bebas biaya. Sebagai sekolah favorit, bolehlah peserta program itu dengan syarat khusus anak-anak miskin yang berprestasi.

Sementara itu Sekolah Muhammadiyah yang kondisinya kurang maju, tak perlu diragukan lagi dalam melaksanakan spirit Al Ma’un, karena biasanya biaya pendidikannya gratis. Lasykar pelangi juga dididik di sekolah semacam itu. Namun demikian, kesejahteraan guru di sekolah Muhammadiyah yang kondisinya kurang maju juga perlu diperhatikan.

Bagi majelis Dikdasmen ini adalah pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Mereka sudah berniat menjadi pejuang-pejuang Al Ma’un, namun hendaknya tidak ada senjangan kesejahteraan dengan guru yang mengajar di sekolah favorit Muhammadiyah.

Kompetensi guru di semua sekolah Muhammadiyah hendaknya juga harus setara. Jangan sampai terjadi diskriminasi peningkatan kompetensi hanya terfokus untuk guru di sekolah besar dan favorit saja. Sejatinya, guru yang mengajar di sekolah Muhammadiyah yang kondisinya kurang maju, malah memiliki tantangan yang lebih berat.

Mereka berhadapan dengan banyak peserta didik yang bermotivasi rendah, bahkan berasal dari keluarga bermasalah. Para pejuang Al Ma’un kita ini harus mengentaskan mereka menjadi pribadi yang  berkarakter kuat, berakhlaq mulia, dan optimis menggapai masa depan. Untuk mendidik peserta didik yang memiliki banyak masalah, diperlukan guru-guru yang sangat kompeten dan berdedikasi.  Matur nuwun……

 

Tulisan ini telah dimuat pada 5 Januari 2021 di :

https://www.suaramuhammadiyah.id/2021/01/05/merajut-asa-bersama-sekolah-muhammadiyah/