Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengajian Anak-anak Dahulu dan Sekarang

 

Pengajian Anak-anak Dahulu dan Sekarang

Bagi anak-anak kecil di tahun 80an, aktivitas waktu magrib hingga isya’ setiap hari umumnya berada di masjid untuk sholat berjamaah dan mengaji. Bisa dikatakan dari magrib hingga isya’ inilah jam emas anak-anak untuk mendapatkan pendidikan dan penanaman agama Islam karena ada pembiasaan sholat berjamaah sekaligus mengaji.

Materi mengajinya di setiap masjid secara umum sama, belajar membaca al quran, menulis arab, hafalan juz ‘amma dan doa-doa, praktik tuntunan sholat dan wudhu, kadang mendengarkan kisah nabi dan sahabat. Guru ngajinya biasanya hanya warga kampung setempat, sehingga anak-anak pun sudah sangat akrab.

Masjid, surau, langgar, musholla pada zaman itu sangat ramai dengan anak-anak. Mereka menempatkan masjid sebagai tempat favorit, karena usai mengaji dapat pula bermain dengan gembira. Kesempatan bermain memang cukup banyak karena biasanya gurunya hanya 1 atau 2 orang sedangkan yang mengaji banyak, sehingga jatah waktu ngaji tiap anak relatif pendek.

Suasana ngaji anak-anak di tahun 80an memang jauh dari kesan formal. Guru ngajinya tidak dipanggil ustadz, karena memang sudah akrab wong cuma tetangga rumah maka biasanya anak-anak memanggil dengan sapaan sehari-hari misalnya pak, bu, mas, mbak, lik, maupun pakdhe. Pengajian anak-anak zaman dulu juga tidak mengenal baju seragam.  

 

Mengaji di era TPA

Memasuki tahun 90an trend pengelolaan pengajian anak-anak bergeser dengan model Taman Pendidikan Al Quran (TPA) yang konten materinya berbasis buku IQRA yang dikembangkan oleh Kyai As’ad Humam Kotagede. Pengajian anak-anak mulai dikelola lebih formal dan profesional dengan hadirnya lembaga Badko TPA. Untuk menggaransi mutunya, terhadap TPA-TPA juga dilakukan akreditasi secara berkala. Ustadz dan ustadzahnya juga mendapat program peningkatan kompetensi yang dibutuhkan.

Sayapun menilai pendekatan dengan menerapkan metode IQRA lebih efektif untuk mengajari anak-anak membaca Al Quran, sehingga pertumbuhan TPA di masjid-masjid sangat massif. Disusul kemudian trend masjid-masjid mendirikan bangunan kelas untuk TPA semakin nampak penyelenggaraan pengajian anak-anak lebih formal.

Pada era TPA juga banyak fasilitasi prestasi santri dengan gelaran festival anak shalih yang merupakan kegiatan multi lomba. Menandai kelulusan santri juga diselenggarakan upacara wisuda lengkap mengenakan toga dan diramaikan dengan arak-arakan naik becak atau andong dan dikawal pasukan drum band.

 

Masjid sepi dari anak

Baik di tahun 80an yang menggunakan metode turutan dan juz ‘amma maupun era TPA dengan metode IQRA-nya tujuan diselenggarakannya pengajian anak-anak maupun konten materinya tidaklah berbeda. Yang berbeda di era TPA waktu aktivitas mengaji umumnya dilaksanakan bakda asar hingga sebelum magrib. Jadwal mengaji di era TPA juga tidak setiap hari, umumnya 4 hari dalam sepekan.

Karena TPA umumnya dilaksanakan bakda asar, maka waktu magrib hingga isya masjid menjadi sepi dari anak-anak. Pada saat mengikuti kegiatan TPA bakda asar hingga menjelang magrib anak-anak juga tidak berjamaah sholat. Maka anak-anak kehilangan materi pembiasaan sholat berjamaah di masjid. Berbeda dengan tahun 80an karena ngajinya dari magrib hingga isya maka anak-anak sekaligus mendapatkan penanaman pembiasaan sholat jamaah di masjid.

Sultan Muhammad Al fatif pernah berpesan : Jika suatu masa kelak kamu tidak lagi mendengar bunyi bising dan gelak tawa anak-anak riang di antara shaf-shaf shalat di masjid-masjid, maka sesungguhnya takutlah kalian akan kejatuhan generasi muda kalian di masa itu". Pesan Al fatih barangkali perlu kita renungkan untuk kembali mengisi waktu magrib hingga isya dengan pengajian anak-anak/TPA.

Gagalnya pembiasaan anak-anak berjamaah di masjid juga berdampak kepada melemahnya kegiatan remaja masjid. Dahulu ketika masjid-masjid masih ramai dengan jamaah anak-anak, umumnya kegiatan komunitas remaja masjidnya juga makmur. Baik sholat jamaah rutin, kajian, berlatih olahraga, berkesenian, berdiskusi, dan sederat aktivitas lain mewarnai dinamika komunitas remaja masjid.

Melemahnya komunitas remaja masjid menjadikan ormas kepemudaan Islam misalnya Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, akan kekurangan input kader aktivisnya. Maka dampak paling nyata adalah pelemahan angkatan muda Islam dan fenomena ini mestinya diantisipasi dengan serius. Maka kembalikan anak-anak kita ke masjid, untuk bergembira dan mencintai rumah Rabbnya.  

 

 Tulisan ini telah dimuat pada tanggal 1 Januari 2021 di :

https://www.suaramuhammadiyah.id/2021/01/01/pengajian-anak-anak-dahulu-dan-sekarang/