Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tapak Suci Spirit Nasi Bungkus

 


Tapak Suci Spirit Nasi Bungkus

Dewasa ini frasa nasi bungkus menjadi istilah popular di media untuk mengejek kelompok lain yang berseberangan. Maka istilah “mahasiswa nasi bungkus, demonstran nasi bungkus, santri nasi bungkus, preman nasi bungkus, ormas nasi bungkus”, dan sebagainya yang berkonotasi mengejek kelompok lain sekedar mengejar bayaran dan seporsi makanan untuk melakukan aksi demonstrasi. Dalam tulisan ringan ini sama sekali tidak akan membahas nasi bungkus dalam konteks negative. Popularitas kata nasi bungkus karena hiruk pikuknya dinamika politik, justru mengingatkan saya sebagai salah satu bagian keluarga besar Tapak Suci Putera Muhammadiyah dengan sejuta kenangan indah bersama menu sederhana ini.

Menu nasi bungkus yang begitu sederhana memang lekat dengan kegiatan kami para Anggota Tapak Suci Putera Muhammadiyah. Mulai dari kegiatan buka bersama, long march, mabid, raker, maupun ujian kenaikan tingkat baik siswa, kader, bahkan pendekar, selalu hadir nasi bungkus sebagai  pengganjal perut dan sumber tenaga kami, tak peduli di antara pesertanya ada pejabat, dokter, dosen, pengusaha, serta berbagai kelompok profesi mapan lainnya.  Tentu saja pilihan kepada nasi bungkus selain murah juga sangat praktis sehingga cocok untuk kegiatan Tapak Suci yang mayoritas berbau lapangan.

Di balik kepraktisan yang ditawarkan oleh nasi bungkus, tentu saja dalam kegiatan lapangan yang memeras tenaga ada kenikmatan yang maksimal saat melahap menu ini. Seolah istirahat sesaat sambil makan nasi bungkus, yang biasanya dilakukan setelah sesi berjamaah sholat dapat memulihkan spirit kami untuk kembali siap mengikuti sederet agenda kegiatan yang telah dijadwalkan panitia.

Saya yakin para anggota Tapak Suci sangat merindukan saat bersama-sama menikmati nasi bungkus di berbagai acara/kegiatan perguruan. Menu sederhana nasi dengan lauk sepotong telur dadar, oseng-oseng tempe, bakmi, dan sambel dimakan di tengah hutan dengan didera rasa lelah, bagi kami bukan sekedar “makan siang biasa”. Nostalgia kami bukanlah sekedar nikmatnya makan nasi bungkus saat lapar banget di sela kegiatan yang melelahkan. Namun saat ini, di usia kami yang sudah dewasa ternyata kenangan bersama nasi bungkus sarat dengan pesan moral tuntunan hidup yang dapat kami petik pelajarannya.

 

Syukur Nikmat

Sudah lazimnya seorang anggota Tapak Suci adalah orang yang gemar kegiatan lapangan. Masih lekat dalam ingatanku, memakai seragam merah-merah, bersabuk kuning, menyandang tas ransel berisi jas hujan, sarung, alat tulis, seliter air minum, dan nasi bungkus, kami menempuh jalan berbatu di perbukitan kapur yang membujur di tepi laut selatan. Tiba waktu dhuhur kami diperintahkan sholat dengan menggelar mantel, beruntung ada telaga untuk sekedar wudhu (mungkin panitia sudah survey dulu??). Usai sholat kami membuka bekal, makan bersama nasi bungkus seharga 1000 perak (harga tahun 90an), rasanya tentu super nikmat bagi anak SMP yang sedang “semego”.

Seorang remaja itu disebut oleh orang Jawa sebagai “bocah semego”, artinya anak yang sedang rakus-rakusnya makan, dikasih nasi berapa banyakpun habis. Dengan nasi bungkus yang tentu porsinya tidak seberapa, seorang “bocah semego” sedang diajari memahami nikmatnya keterbatasan. Kami sekarang jadi mengerti arti mensyukuri nikmat, betapapun keterbatasan yang dialami dalam kehidupan. Nasi bungkus telah mengajari kami, bahwa tidak setiap “keinginan” kita harus terpenuhi, karena sesungguhnya Alloh SWT akan mencukupi semua yang kita “butuhkan”. Nasi bungkus telah mengajari kami untuk selalu bersyukur atas semua nikmat  Alloh SWT.

 

Sederhana

Nasi bungkus itu harganya murah, maka menjadi alternative setiap panitia kegiatan Tapak Suci untuk penyediaan konsumsi. Harganya murah wong isinya juga sederhana, nasinya secukupnya saja, lauknya paling hebat telur sepotong, oseng-oseng tempe/tahu, dan bakmi. Untuk ukuran “bocah semego” pasti belum kenyang makan nasi bungkus, namun di sinilah pesan moralnya dapat kita petik. Ukuran porsi minimalis dalam nasi bungkus mendidik “bocah semego” menjadi tahu batas.

Di sinilah pelajaran hidup sederhana tertanam pada anak, dengan tahu batas maka kita pahami gaya hidup tidak boleh berlebihan. Maka setelah dewasa pilihan kami adalah hidup sederhana yang hikmahnya kita akan sehat pikiran dan sehat jasmani. Orang yang sederhana beban hidupnya lebih ringan karena tidak ngoyo, sehingga pikiran menjadi sehat dan tidak mudah gelap mata dalam mencari nafkah. Hidup sederhana akan sehat jasmaninya karena gaya hidup yang berlebihan riskan dengan ancaman penyakit degenerative. Semoga kita selalu arif dan mau belajar meskipun dari hal-hal kecil seperti “nasi bungkus”.  Matur nuwun……

 

Tulisan ini pernah dimuat pada tanggal 10 Oktober 2020 di :

https://tajdid.id/2020/10/10/tapak-suci-dan-spirit-nasi-bungkus/