Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ulama Muhammadiyah Di Balik Peta

Ulama Muhammadiyah Di Balik Peta


Patung Daidancho Soedirman berdiri gagah di depan Museum Peta di Bogor. Dahulu di tempat inilah para anggota PETA (Tentara Sukarela Pembela Tanah Air) dididik dan dilatih keras untuk menjadi militer tangguh yang siap tempur.

Pendidikan PETA angkatan pertama dimulai tanggal 15 Oktober 1943. Anggota PETA direkrut dari para pemuda di Pulau Jawa, Madura, dan Bali. Mereka wajib memenuhi persyaratan antara lain: memiliki jiwa kepemimpinan, berfikiran sehat, bersemangat, teguh, gagah, dan kuat. Selain itu syarat pelamar calon perwira PETA berusia di bawah 30 tahun. Sedangkan pelamar prajurit PETA berusia kurang dari 25 tahun dan belum memiliki anak.

 

Kader Muhammadiyah di dalam PETA

Pak Soedirman adalah satu kader Muhammadiyah yang bergabung dengan PETA, setelah lulus pendidikan di Bogor selanjutnya ditugaskan sebagai Daidancho (Komandan Batalyon) PETA di Kroya. Reputasi Daidancho Soedirman sangat populer di kalangan komandan PETA. Pada masa awal kemerdekaan pasukan PETA Daidan Kroya yang dipimpin Pak Soedirman memiliki senjata lengkap.

Pak Soedirman yang tokoh Pandu Hizbul Wathan serta Menteri Daerah Pemuda Muhammadiyah adalah negosiator ulung, sehingga pasukan PETA Daidan Kroya tidak dilucuti Jepang. Bermodal pasukan bersenjata paling lengkap, di awal kemerdekaan posisi Soedirman langsung melejit menjadi Panglima Divisi TKR dengan pangkat kolonel. Sejarah mencatat dengan tinta emasnya, bahwa Jenderal Soedirman di puncak pengabdiannya kepada negara memikul jabatan tertinggi sebagai Panglima Besar TNI.

Mr Kasman Singodimedjo, sarjana hukum asli Purworejo ini sejak muda adalah aktivis Muhammadiyah. Pada zaman Jepang Mr Kasman Singodimejo memimpin Daidan (batalyon) PETA di Jakarta. Pada awal kemerdekaan otomatis tanggung jawab keamanan ibukota Jakarta ada di tangan Daidancho Kasman.

Kader Muhammadiyah ini penuh talenta, jalan hidupnya penuh warna. Pak Kasman pernah menjadi akademisi hukum hingga bertitel Profesor Doktor, pernah menjadi tentara hingga berpangkat Mayor Jenderal. Pak Kasman pernah pula menjadi politisi hebat dan pemberani. Ketika ditahan rezim orde lama, di hadapan  tentara yang menginterogasinya sekalipun dibunuh Pak Kasman tegas takkan mengakui tuduhan kejahatan yang tak pernah dilakukannya. 

Selain Jenderal Soedirman dan Mr Kasman Singodimejo, masih banyak kader Muhammadiyah yang bergabung dengan PETA misalnya Muhammad Saleh Werdisastro yang memimpin Daidan PETA di Bantul (selatan Yogyakarta), Moeljadi Djojomartono, Muhammad Idris, Doeryatman, dan Soetalaksana.   


Kiprah Ulama Muhammadiyah

Di balik banyaknya kalangan muda Muhammadiyah dan Islam pada umumnya yang tertarik bergabung dengan PETA, tidak terlepas dari peran para ulama dalam pembentukannya. Jepang yang pernah menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia memberi syarat salah satunya harus memiliki pasukan/militer sendiri.

Di antara ulama yang memandang perlunya bangsa Indonesia membangun kekuatan militer/memiliki tentara adalah KH Mas Mansyur dan Buya Hamka. Kedua tokoh ini terlibat dalam gagasan pembentukan PETA yang dinilai dapat menanamkan cinta tanah air berdasarkan ajaran agama.

Tantangan menyongsong kemerdekaan disertai penguatan nilai dan motivasi cinta tanah air dari para ulama mendorong animo para pemuda untuk bergabung dengan tentara PETA sangat tinggi. Terbukti dalam waktu singkat dapat terbentuk 77 batalyon PETA yang siap tempur. Pasukan PETA inilah yang pada akhirnya menjadi tulang punggung TNI dalam perang kemerdekaan.    

Pada dasarnya Jepang membentuk PETA juga dalam rangka menambah kekuatan militernya guna mengahadapi pasukan Sekutu. Kyai Mas Mansyur, Buya Hamka beserta para ulama bukannya tidak paham dengan kelicikan Jepang. Namun demikian para ulama sadar tanpa memiliki pemuda yang terlatih secara militer dan terorganisir baik maka Indonesia takkan bisa merdeka.

Bakti dan cinta tanah air Kyai Mas Mansyur dan Buya Hamka tidak hanya sekedar memotivasi kalangan pemuda untuk bergabung dengan PETA. Pada masa kemerdekaan Kyai Mansyur turut berjuang melawan NICA yang diboncengi Belanda. Kemudian Kyai Mansyur tertangkap Belanda dan dipenjara di Kalisosok. Pada tanggal 25 April 1946 Kyai Mas Mansyur meninggal dunia dalam tahanan Belanda dan dimakamkan di Surabaya. 

Buya Hamka juga turut ambil bagian dalam perang kemerdekaan. Ulama kharismatik ini bergerilya di belantara Sumatera demi mempertahankan kemerdekaan tanah airnya. Para ulama ini telah mewariskan keteladanan cinta tanah air dan kesetiaan kepada negaranya. Mereka telah berbuat nyata sekuat tenaga untuk tegaknya kedaulatan NKRI, tanpa pernah mengklaim paling cinta tanah air apalagi paling Pancasilais.


Tulisan ini telah dimuat pada tanggal 21 Juni 2021 di :

https://suaramuhammadiyah.id/2021/06/21/ulama-muhammadiyah-di-balik-peta/