Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Was Wes Wos Tentang BLT Di Indonesia

Penulis : Mansurni Abadi 
Pengurus Riset dan pengembangan Keilmuwan (RPK) IMM Malaysia dan staf penelitian PPI DUNIA periode 2021/2022

Putrajaya,Malaysia  - Pasca kenaikan harga BBM, setidaknya ada tiga solusi yang tertangkap dari komunikasi para elite diranah publik. 

1. yang pertama, rakyat disuruh memaklumi dengan cara melihat sisi lain kenaikan disertai sikap yang sabar dan penuh harap karena katanya akan ‘berpotensi’ untuk turun meskipun ada indikasi akan menjadi prank season 

2. yang kedua, rakyat disuruh mengampangkan kenaikan soal Kenaikan dengan Diksi“ Percuma”, bahkan seorang bupati telah menasehati “Kalau tidak punya uang , ya tidak usah pergi  kemana-kemana”, termasuk silahturami ke rumah bupati yang menasehati itu; dan yang ketiga rakyat disuruh mengajukan  bantuan langsung tunai (BLT) daripada capek-capek protes karena dikuatirkan hanya akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu seperti Penjual makanan keliling contohnya. 

3. Untuk soal yang ketiga, pemerintah berserta para pendukungnya termasuk mereka yang mengangkat trending sang tuan tengah menstabilkan ekonomi di twitter itu meyakini pemberian bantuan langsung tunai  (BLT) merupakan solusi yang paling efektif untuk menjawab kesusahan rakyat akibat kenaikan BBM berserta harga-harga barang. setidaknya dari subsidi yang katanya selalu salah sasaran itu, rakyat  Indonesia diharapkan bisa pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat sesuai dengan tema kemerdekaan  ke-77. 

Tapi kalau kita menelaahnya secara kritis, Bantuan langsung tunai yang  katanya akan diberikan selama empat bulan  hanyalah  pengobatan sementara (temporary relief) dari inflasi yang rakyat tengah rasakan.  Ibaratnya BLT hanya akan mengobati rasa demam karena Covid-19, tetapi tidak mengobati penyakit Covid-19 itu sendiri.  

BLT juga cenderung bersifat konsumtif dari pada produktif, sehingga pengalihan subsidi BBM sudah dapat diperkirakan lebih untuk membantu consumption driven economic growth, yaitu pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh pengeluaran untuk konsumsi, utamanya Rumah tangga. 

Memang dalam jangka pendek, BLT mampu membantu penguatan daya beli masyarakat miskin, namun bagaimana  dengan jangka panjang ? bukankah hal ini akan menormalkan terjadinya Moral hazard yaitu kondisi ketika masyarakat miskin menjadi sangat tergantung kepada BLT sehingga mereka terbiasa dengan tangan dibawah. Belum lagi soal selection  bias yaitu kesalahan target penerima yang dilakukan oleh para bawahan dari tuan presiden sendiri, baik disengaja maupun tidak.  

Maka benarlah kata tuan presiden kala dirinya masih menjadi Gubernur DKI, kalau BLT Itu sifatnya tidak mendidik . “ Sebaiknya diarahkan ke hal –hal yang produktif” katanya dahulu. 

Tapi mebanding-bandingkan antara dia yang dahulu dengan dia yang sekarang jelas bukan pilihan tepat, biarlah  urusan itu kita serahkan pada Farel Prayogo yang sukses membuat sang tuan presiden ikut bersuka ria .   

Karena yang namanya manusia,  mempertahankan pandangan yang  dahulu dia yakini secara terus menerus adalah hal yang paling sulit, secara alamiah perubahan pandangan  terjadi karena faktor belajar ataupun dorongan keadaan , namun marilah kita berbaik sangka sang tuan presiden memilih faktor pertama daripada  faktor kedua. 

 Apalagi inisiatif sang tuan presiden itu sebenarnya selaras dengan  RAPBN 2023 pada butir kedua yaitu “Meningkatnya perlindungan sosial bagi seluruh pendidikan dengan mendorong peningkatan: (a) proporsi penduduk yang tercakup dalam program jaminan sosial, dan (b) proporsi rumah tangga (RT) miskin dan rentan yang memperkokoh bantuan sosial pemerintah meskipun praktiknya sendiri agak tidak sesuai dengan tema besar RKP tentang “Peningkatan Produktivitas Untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan”. 

Apakah terus menerus memberikan BLT dapat mendorong ekonomi kearah yang inklusif dan berkelanjutan ? , Ya Ndak Tahu jangan tanya si penulis. 

Selain itu Bantuan sosial (Bansos) tanpa reformasi sistem hanyalah membuka masalah baru, bukan hanya masalah salah sasaran tetapi juga peluang terjadinya praktik KKN (Korupsi,kolusi,Nepotisme) oleh aparat pemerintahan. Meskipun perbuatan KKN sendiri dapat membuat malu anak dan istri sebagaimana nasehat Bapak Juliana Batubara, tetap saja hal ini bukanlah penghalang apalagi kejahatan KKN saat ini bukan lagi kejahatan luar biasa karena perlakuan hukum terhadapnya boleh dibilang masih di istimewakan dengan berbagai potongan masa tahanan .

Oleh karena itu Reformasi Sistem Perlindungan Sosial  sebenarnya sangat diperlukan bukan hanya sebagai bantalan ekonomi bila terjadi krisis tapi juga untuk mempercepat Penghapusan Kemiskinan Ekstreem yang sudah ditargetkan oleh Inpres No.4 Tahun 2022, harus nol persen di tahun 2024 nanti. 

Tapi target tanpa disertai dengan strategi dan kajian yang jelas  hanya akan menjadi coretan diatas kertas. karena  berdasarkan data BPS pada bulan maret 2021 ,tingkat kemiskinan ekstrem sebesar  4% atau 10,86 juta jiwa dengan rata-rata penurunan sejak 2014-2017 menurut Susenas  hanya sebesar 1 % atau bahkan  dibawah 0,5 % ,Sedangkan tingkat kemiskinan sejak Maret 2017 (10,64%) sampai Maret 2021 (10,14%) selalu mengalami peningkatan meskipun pada September 2021 (9,71%) sempat menurun di bawah 1%, namun  kondisi ini tidak bertahan lama justru di momentum hari jadi sang ketua parlemen beberapa hari lalu, kita perlu melihat kembali peningkatan angka kemiskinan, kalau naik kita harus mengeluas dada kalau pun turun kita  tidak boleh cepat bertepuk tangan.   

Pada dasarnya formula untuk menargetkan nol persen kemiskinan esktrem di tahun 2024 , maka sejak 2021 tingkat kemiskinan ekstreem harus bisa diturunkan dengan rata-rata di atas 1% per tahun.  Kembali Ke soal  BLT, apakah hal ini bisa menjadi solusi turunnya tingkat kemiskinan di tahun 2024 ataupun sekadar menjawab penderitaan rakyat pasca kenaikan BBM ?  maka jawabannya  tergantung  dengan sang Tuan presiden dan para elitnya yang menilai. 

Tapi buat saya, BLT tetaplah baik karena solusi ini yang hanya mungin dilakukan pemerintah yang minim solusi itu,tapi  semua  hal juga termasuk Bansos harus dimulai dengan kehendak politik dari lembaga-lembaga negara untuk menjaga agar tidak terjadi kebocoran anggaran karena maraknya aktivitas pemburu rente dan mal-praktik pembangunan dan orientasi dari bantuan juga  harus diarahkan pada produktifitas sesuai nasehat sang mantan gubernur DKI  periode 2012-2014 itu, tapi dengan catatan pendekatan produktivitas yang dilakukan harus menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan dengan memberikan mereka akses  yang adil  serta semaksimal mungkin memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi agar graduasi masyarakat miskin dan rentan dapat terealisir dengan baik dan sekaligus semakin memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa bukan malah sebaliknya. 


Referensi 
Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023, Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2022, halaman 272-277. 
Buku II NK dan RAPBN Tahun 2023, halaman 272-275. 
Badan Pusat Statistik.