Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cinta Sunah: Berbagi Senyum

Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 21 Rabiul Awal 1444

Cinta Sunah: Berbagi Senyum
Saudaraku, indahnya berislam selalu mewujud dalam seluruh aspek kehidupan. Secara sosiologis antropologis, saat bertemu antar saudara kita dituntun untuk saling memberi salam dan ini sudah dinilai ibadah, lalu ramah bertegur sapa juga ibadah, apalagi berbagi senyum keceriaan dan hajat hidup lainnya.

Ya, berbagi senyum itu ibadah, ia dinilai bagian dari sedekah, dan sedekah itu sunah Nabi, maka berbagi senyum juga sunah Nabi bisa dikukuhkan dalam interaksi insani hari-hari. Dalam hal ini Nabi saw bersabda: "Senyumanmu di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu." (HR Tirmidzi) 

Bahkan secara etik berkomunikasi, pesona senyuman bisa mengalahkan kekayaan harta benda sekalipun, apalagi dengan kekayaannya menyebabkan munculnya seberkas keangkuhan. Nabi saw bersabda, "Kalian tidak akan dapat meraih hati manusia dengan kekayaan kalian, tetapi kalian dapat meraih hati mereka dengan wajah yang berseri-seri dan akhlak yang baik." (HR Al-Bazar, Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, sanadnya hasan)

Bila senyum ceria itu sunah Nabi, dinilai sedekah dan termasuk ibadah, maka mafhum mukhalafahnya mrengut, cemberut, jutek atau menampakkan kemarahan tentu bisa sebaliknya. Ia dapat dinilai "makruh", sesuatu yang tidak disenangi, sehingga karenanya sebaiknya dihindari. Apalagi secara medis, kata para pakar, ketika kita senyum ternyata hanya memerlukan 17 otot daripada wajah, sedangkan ketika marah, memerlukan 43 otot daripada wajah. Artinya senyum itu harusnya ringan dan mudah, sedangkan marah itu berat dan menguras energi.

Intinya, kita musti meyakini bahwa berbagi senyum itu sunah Nabi, sedekah atau ibadah yang dengan mengundang berkah, sedangkan selainnya bisa-bisa mengundang masalah. Nah sekarang, tinggal membiasakan yang sunah agar menjadi akhlaq al-karimah.

Sebagai akhlaq al-karimah, maka ekpresi lahiriyah seperti senyum ceria tentu juga bermuara di hati. Oleh karena itu, mengelola hati menjadi kunci. Inilah mengapa cinta terhadap sunah juga merupakan totalitas kepribadian seseorang. Hati musti luas, terbuka dan lues agar mampu menampungi segala ketentuan yang Allah tetap atasnya. Dengan inilah, hati menjadi ridha, yang pada akhirnya merefleksi pada keceriaan diri.

Oleh karena itu, kita berikhtiar untuk senantiasa cinta sunah agar menuai maslahah. Aamiin ya Mujib al-Sailin